Beranda » Seni & Budaya » Teater » Monolog Putu Wijaya

100 Menit Monolog Putu Wijaya

Theater for Life

Oleh Moh. Syafari Firdaus
2 komentar 618 dilihat 7 menit membaca
Putu Wijaya

Putu Wijaya memang mengejutkan. Putu yang mengejutkan itu bukan saja tampak pada karya-karya prosanya, tapi nyaris hadir pula di setiap ruang pertunjukkannya. Setumpuk karya telah dihasilkan oleh pria kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944 ini, dan siapa pun rasa-rasanya akan sulit untuk bisa menandingi keproduktivitasannya dalam berkarya. Syu’bah Asa, sebagaimana yang tercetak pada sampul belakang Kroco (Pustaka Firdaus, 1995)― satu dari sekian banyak novel yang telah ditulis Putu ― menyebut, Putu Wijaya adalah sebuah gumpalan. Barangkali hanya seorang di Indonesia, seniman yang di setiap kali muncul hampir selalu dalam keadaan seratus persen utuh, seratus persen spontan.

Begitu pula dalam pertunjukkan Theater for Life: 100 Menit Monolog Putu Wijaya yang berlangsung di Gedung Serba Guna Universitas Katholik Parahyangan Bandung, 29 Mei 2007. Kali ini pun, Putu masih tetap mengejutkan, seperti juga ketika pertama kali saya menonton pertunjukkan monolognya, lebih dari 11 tahun yang lalu.

Putu membawakan lima dongeng pada pertunjukkan monolognya malam itu. Dongeng-dongeng Putu itu memang tidak jauh berbeda seperti karya-karya prosanya, dongengan yang “khas Putu Wijaya”: lugas, dinamis, sugestif, penuh keliaran imajinasi seolah ingin menggedor dan membobol ruang imaji dan kesadaran audiensnya dengan membaurkan yang mustahil dan yang ganjil sebagai bagian dari realitas keseharian.

Monolog pertama yang dibawakan Putu berkisah tentang seorang juragan perkutut yang berhasrat untuk melepaskan seekor perkututnya karena juragan perkutut itu menyadari akan “arti penting kemerdekaan dan kebebasan”. Tema yang bersinggungan dengan soal feminisme diangkat pada monolog kedua. Pada monolog ini Putu Wijaya mengisahkan tentang seorang perempuan yang memendam dendam terhadap laki-laki, yang oleh karena itu dia ingin menjadi laki-laki.

Kisah tentang para raksasa yang telah bermetamorfosis menjadi manusia, dibawakan sebagai monolog ketiga. Para raksasa itu dilanda cemas, mengadu kepada Semar karena mereka merasa, manusia sudah mengambil alih kebiasaan mereka: memakan manusia. Padahal, mereka sudah lama meninggalkan kebiasaan itu. Para raksasa itu kemudian meminta Semar untuk memberi mereka lisensi agar secara legal mereka bisa memakan manusia seperti kebiasaannya semula.

100 MENIT. Sastrawan serba bisa Putu Wijaya beraksi dalam lakon monolog “100 Menit” di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (28/6/2007). FOTO ANTARA/Fanny Octavianus/pd/07

“Cerita cabul”, begitu Putu menyebutnya, menjadi monolog keempat. Pada monolog ini Putu berkisah tentang Agus, seorang anak yang selalu bertanya, apa itu memek. Semua orang dewasa, termasuk orang tuanya, tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya itu secara langsung. Karena pertanyaannya itu, Agus malah kerap dimarahi dan dianggap amoral. Agus semakin bingung, tapi juga semakin membuatnya penasaran. Agus baru mendapatkan jawaban dari guru wanita di sekolahnya. Untuk menjawab pertanyaan itu, sang guru membuka roknya sendiri dan memperlihatkan alat kelaminnya kepada Agus. Jawaban terbuka dari guru itu ternyata berharga mahal. Orang-orang kemudian marah: mereka lalu mengusir dan memperkosa guru itu ramai-ramai sampai mati.

Dongeng tentang setan yang ingin menjadi pahlawan, dibawakan Putu sebagai penutup. Sebagaimana dongen tentang raksasa, dongeng tentang setan ini pun merupakan alegori yang sepertinya ingin menyentil realitas keindonesiaan kita hari ini: betapa gampangnya menjadi pahlawan, bahkan untuk makhluk yang bernama setan (atau justru karena setan, maka dia kemudian dieluk-elukkan sebagai pahlawan).

Sebagaimana beberapa pertunjukkan monolog Putu Wijaya yang pernah saya saksikan, pada monolognya ini pun Putu tampak masih ingin mengandalkan kekuatan bercerita. Dari segi tematis, Putu pun tetap memilih untuk membawakan dongeng-dongengnya yang cenderung “bertendens”.

Akan tetapi, dalam sebuah pertunjukkan atau peristiwa teater, segi tematis dan kekuatan bercerita baru sebagian aspek saja. Yang teramat penting dalam monolog adalah peforma sang aktor agar bisa membawakan ceritanya menjadi sebuah pertunjukkan yang memiliki daya greget. Terlebih dalam pertunjukkan monolog Putu kali ini―seperti yang dituliskan di dalam leaflet―yang berkehendak untuk mengajak audiensnya bercakap-cakap tentang kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kesetaraan, hak asasi, kepemimpinan, moralitas, nasib perempuan, dan berbagai ketimpangan sosial. Dengan monolognya ini, Putu ingin mengajak bercakap dengan suara rendah agar suara yang dikeluarkan tidak menjadi lebih penting dari apa yang sebenarnya ingin diketahui lebih banyak.

Dengan gaya mendongeng, di atas panggung, dengan kostum hitam dan ikat kepala khas Bali, Putu Wijaya ditemani kursi dan sangkar burung; sapu lidi, handuk kecil, dan cemeti, bergantian menjadi hand prop. Sangkar burung hanya dipakai pada monolog pertama; selebihnya, benda itu menggantung saja. Memang tak jadi mengapa, hanya sayang saja jika benda yang masih berada di panggung itu kemudian tak lagi tersentuh, dilupakan, seakan tak ada. Adegan terbaik dari seluruh pertunjukkan Putu ini justru muncul pada monolog pertama, ketika sapu lidi yang dilemparkan juragan perkutut seakan mengoyak menembusi sangkar burung itu.

Sarana-sarana yang menunjang peforma keaktoran―tubuh (gestur, gimmick), teknik vokal, ruang, set, dan properti― tampak betul diupayakan untuk bisa dimainkan secara maksimal oleh Putu. Selama bermain, Putu pun seperti berusaha tak mengambil jarak, senantiasa melibatkan dan membangun komunikasi dengan penontonnya. Tidak jarang Putu mengomentari, memprotes, bahkan menggalaki kru panggung pembawa “smoking gun” ketika efek asap yang dihasilkannya tidak sesuai sebagaimana yang diinginkan.

Keluar-masuk peran yang dilakukan Putu ini seakan ingin memberi kesadaran kepada penontonnya jika yang sedang terjadi di atas panggung hanyalah sebuah pertunjukkan. Apa yang dilakukan Putu itu mungkin seperti efek aleniasi yang digagas Brecht: yang dituju adalah munculnya kesadaran intelektual dari para penonton, bukan sekadar emosi dan empati terhadap karakter dan peristiwa yang tengah diceritakan di atas panggung.

Sebagian besar usaha Putu itu boleh dipandang cukup berhasil, meskipun kesan monoton tetap terasa ketika Putu dalam beberapa bagian membawakan dongengannya dengan cara yang nyaris sama (kesan monoton ini mungkin akan segera terasa jika sebelumnya sempat menonton monolog Putu, karena beberapa di antaranya telah pernah dipertunjukkan di luar rangkaian acara Theater for Life ini). Untung saja, pada kesempatan ini Putu masih belum kehilangan spontanitas dan improvisasinya, sehingga kemonotonan itu sedikitnya bisa tertenggelamkan. (Menyoal improvisasi, konon, ketika masih bergabung di Bengkel Teater Rendra sekitar tahun 1968, Putu Wijaya memang dikenal sebagai “jago improvisasi”. Improvisasi sendiri kala itu merupakan metode latihan acting yang digagas Rendra yang sebelumnya belum pernah dikenal di Indonesia.)

Di luar peforma Putu Wijaya sebagai aktor pendongeng, memang ada beberapa hal teknis yang cukup mengganggu jalannya pertunjukkan: pengeras suara yang tersendat-sendat dan, terutama, sederet tulisan ihwal tajuk pertunjukkan yang terpampang besar di belakang panggung. Secara visual, kehadiran sederet tulisan yang seolah menjadi background itu sangat mengganggu. Seandainya yang menjadi background panggung hanya bentangan layar hitam, pertunjukkan itu pasti akan bisa lebih ternikmati. Penggunaan efek asap pun sepertinya terlalu dipaksakan. Agak mengherankan juga efek asap yang tidak memberikan nuansa apa pun, seolah dipaksakan untuk tetap ada.

Meski tajuknya 100 Menit Monolog Putu Wijaya, namun pertunjukkannya sendiri secara keseluruhan berlangsung tak kurang dari 2 jam; dan secara one man show, Putu mampu membawakan lima dongengnya itu dengan cukup konstan. Putu hanya butuh mengambil rehat sejenak untuk sekadar mengatur tarikan nafas di saat intermisi pergantian dongeng yang ditandai oleh adegan orang mengibar-ngibarkan bendera diiringi hentakan musik Vangelis yang menjadi soundtrack film 1492: Conquest of Paradise.

Ya, usia Putu Wijaya boleh saja sudah menginjak 63 tahun, namun energi dan staminanya masih tampak prima. Teknik vokalnya pun―meski pada pertunjukkan monolog ini Putu menggunakan mic―masih mengesankan, bisa tetap konstan di sepanjang pertunjukkan. Kemampuan ini boleh disebut luar biasa. Tidak sembarang aktor―terutama yang seusia―yang kiranya akan sanggup melakukannya. Pada konteks ini, lagi-lagi, Putu Wijaya mengejutkan.

²²²

Mungkin Anda akan Tertarik

2 komentar

andaru 15 Desember 2008 - 20:58

mana naskahnya?

Balas
dauz 17 Desember 2008 - 16:12

walah… kalau naskahnya, mesti minta ke putu wijaya-nya langsung dong 😀

Balas

Tinggalkan komentar

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00