Beranda » Seni & Budaya » Teater » Pementasan Hamlet

“Menjadi, atau Tidak Sama Sekali”

Pementasan Hamlet Studio Teater STSI Bandung

Oleh Moh. Syafari Firdaus
2 komentar 821 dilihat 9 menit membaca
Hamlet karya William Skakespeare

“Menjadi, atau tidak sama sekali. Itulah pertanyaannya.”

pementasan-hamlet.jpgHamlet sering disebut sebagai karya drama paling populer, paling panjang, dan sekaligus dinilai sebagai karya terbaik William Shakespeare. Naskah yang ditulis sekitar awal tahun 1600-an ini ditemukan beberapa versi, namun yang paling sering digunakan adalah versi quarto kedua (dipublikasikan 1604) dan folio pertama (dipublikasikan 1623). Bagi saya sendiri, Hamlet selalu menyusup menjadi sesuatu yang penuh teka-teki. Hamlet si peragu yang murung atau Ophelia yang depresif-melankolik-determinis, barangkali adalah sosok-sosok yang terlalu muram: mereka seperti berdiri di luar lingkaran semangat Renaisance yang menjadi suara zaman pada saat itu.

Pada konteks tertentu, Hamlet seolah bersisian dengan Dr. Faustus Chistopher Marlowe (ditulis sekitar 1592-1593), mengisi sisi ekstrim “otak kiri” dan “otak kanan” Renaisance: jika Faustus dengan penuh gelora begitu berani menggadaikan dirinya demi rahasia ilmu pengetahuan kepada Mephistophilis; Hamlet justru menenggelamkan dirinya dalam lautan melankoli, menebar kehampaan masa lalunya, terus diayun kebimbangan untuk “menjadi, atau tidak sama sekali.”

Yang kemudian terjadi pada keduanya―yang belajar di tempat yang sama, Universitas Wittenberg―adalah tragedi: Faustus lenyap ditelan kutuk atas gelora, hasrat, dan godaannya yang tak tertahankan; sedangkan Hamlet tidak pernah bisa “menjadi”, hanya ingin Horatio menceritakan kembali kisahnya sebagai penyaksi.

Ini adalah pertemuan pertama saya dengan Hamlet di atas panggung pertunjukkan teater. Sebelumnya, saya bertemu Hamlet di tengah kerimbunan kata-kata yang berjejal dalam kepala; sampai beberapa waktu kemudian saya dipertemukan pula dengan Hamlet Franco Zeffirelli (yang tampak berusaha patuh dengan Shakespeare), Hamlet Kenneth Branagh (yang membawanya ke era Victorian), dan Hamlet Michael Almereyda yang mengadaptasinya dengan baik ke dunia kekinian.

Kali ini, pertemuan dengan Hamlet di atas panggung pertunjukkan teater itu berlangsung sekitar 160 menit, di Gedung Sunan Ambu, STSI Bandung, 26 April 2007. Hamlet kali inidimainkan oleh Studio Teater STSI Bandung, dengan sutradara Fathul A. Husein.

··

Lakon Hamlet kali ini memang tidak digarap secara utuh. Cukup bisa dimengerti kalau dalam hal ini Fathul beralasan, sebagus apapun pertunjukkannya, lakon Hamlet yang jika dipanggungkan utuh akan berdurasi sekitar 4 sampai 5 jam, akan menjadi tontonan yang melelahkan. Maka dari itu, seperti yang ditulis dalam lifletnya, pertunjukkan Hamlet kali ini disebut sebagai “versi tafsir sutradara berdasarkan terjemahan Trisno Sumardjo.”

Di tingkat konseptual, Fathul sebenarnya menawarkan sesuatu yang menarik. Dalam tafsir saya atas tulisannya di liflet pertunjukkan, Menaklukkan Hamlet, Fathul sepertinya ingin memadukan metode Brecht (upaya fabel dan efek alienasi) dengan metode Stanislavsky (penciptaan super-objektif). Dengan upaya fabel dan efek alienasi Brecht, diharapkan akan ada gambaran utuh yang metaforistik yang bisa direfleksi oleh manusia “masa kini” sampai pada taraf pendiskusian diri, kritik diri, dan perbaikan diri; sementara dari metode Stanislavsky, akan ada pemahaman yang lebih mendalam untuk penggalian karakter dari masing-masing peran yang dimainkan.

Sebenarnya akan ditemukan sejumlah perbedaan yang cukup kontras jika melihat dasar metode Brecht dan metode Stanislavsky. Metode Brecht dimaksudkan untuk menggugah kesadaran intelektual para penonton (dengan menghadirkan problem moral dan refleksi realitas sosial kontemporer di atas panggung) lewat cara menutup respon emosional dan menjauhkan tendensi para penontonnya untuk berempati terhadap karakter-karakter yang dimainkan dan peristiwa-peristiwa yang muncul di dalam pementasan; sedangkan metode Stanislavsky justru mempersuasi penontonnya―lewat metode pemanggungan dan akting yang senatural mungkin―untuk melihat dan meyakini peristiwa yang terjadi di atas panggung sebagai sesuatu yang nyata. Meskipun kedua metode itu tampak jauh berbeda, namun bukan suatu yang mustahil jika keduanya digabungkan untuk satu pertunjukkan.

Secara permukaan, upaya untuk menghadirkan gaya Brechtian muncul di wilayah artistik, terutama pada setting panggung dan pilihan kostum; sedangkan jejak Stanislavskyan bisa terbaca―meskipun samar saja―dari aspek-aspek yang berkaitan dengan pemeranan.

Di wilayah aksentuasi artistik, memang tampak benar ada upaya “pengasingan”. Namun, jika upaya fabel dan efek alienasi Brecht adalah usaha untuk “memperasing kekinian” lewat peminjaman substansi peristiwa yang terjadi di tempat lain atau pada kurun waktu yang berbeda, tatkala melihat setting panggung dan kostum yang dikenakan, saya praktis kehilangan basis referensial untuk bisa mengenali substansi peristiwa semacam apa yang telah dipinjam untuk konteks pertunjukkan Hamlet ini. Efek alienasi Brecht, setidaknya dalam pemahaman saya, kiranya tidaklah perlu membuat sesuatu menjadi “aneh” dan menghilangkan basis referensialnya; namun cukup dengan membuat sesuatu menjadi “tidak lazim” yang tetap bisa dikenali jejak kehadirannya. Dengan tetap dikenali basis referensialnya itulah, upaya alienasi akan bisa terasa memberikan efeknya.

Dalam konteks pemeranan, penguasaan para aktor terhadap ruang (panggung, sett, dan properti) tampaknya menjadi kelemahan mendasar pada pertunjukkan ini. Begitu pun dengan kontrol terhadap tubuh yang berimplikasi pada permainan secara keseluruhan. Gestur besar dan gerakan lebar―yang sepertinya dipilih untuk mengimbangi keluasan panggung Sunan Ambu―seringkali terlihat kaku, grasa-grusu, dan terlalu didramatisir. Nyaris tidak terlihat ada tubuh yang bermain rileks selama pertunjukkan berlangsung. Setting tangga berkain merah di antara dua pilar yang ditempatkan di pojok panggung, beberapa kali sempat terguncang terkena hentakkan. Cara berpelukan yang diperlihatkan dalam beberapa adegan seperti rangkulan orang yang sedang bergulat. Sebagai ksatria, Marcellus dan Horatio seolah tidak bisa mengenali pedangnya sendiri ketika mereka tertukar mengambil pedang sesaat setelah adegan mereka bersumpah dengan Hamlet.

Lemahnya kontrol para aktor berpuncak pada adegan kematian Laertes. Adegan yang berada di rentang klimaks menuju ending yang dalam bayangan saya mestinya dramatis, justru menjadi menggelikan tatkala Laertes (yang barangkali terlalu bersemangat untuk mati) jatuh tertelungkup, baju bagian belakangnya tersingkap, celana panjang ketatnya tertarik agak melorot ke bawah, sehingga celana dalam bagian atas-belakang yang dipakai Heksa Ramdono yang memerankan tokoh Laertes ini dengan jelas terlihat. Alhasil, para penonton―atau setidaknya sejumlah penonton yang duduk di dekat saya―gelak tertawa.

Selain itu, konsistensi pemeranan pun kiranya bermasalah. Polonius (Yadi Mulyadi) yang digambarkan bungkuk dalam pementasan ini, misalnya, seringkali tidak konsisten dengan kebungkukannya. Kadang bungkuk sekali, terkadang setengah bungkuk, bahkan ketika Polonius mati ditikam pedang Hamlet, tubuh Polonius tampak terkapar lurus (saya tidak tahu persis, apakah kalau orang bungkuk mati, seketika mereka tidak bungkuk lagi?).

Barangkali, ini adalah secuil hal kecil, mungkin juga “hanya soal teknis”. Namun, akibat yang ditimbulkannya justru sungguh teramat celaka, karena “tragedi” secara tidak sadar telah menjadi “komedi”. Tentu saja, akan lain lagi soalnya jika lakon tragedi ini memang dimaksudkan dengan sadar untuk dipanggungkan sebagai komedi; dan Hamlet garapan Fathul ini jelas tidaklah dibangun dari kesaradaran untuk memanggungkan tragicomic semacam itu.

Dengan melihat fakta yang terjadi pada pertunjukkan Hamlet ini, upaya fabel dan efek alienasi Brecht yang ingin ditawarkan Fathul, tampaknya hanyalah menjadi konsepsi apologis yang dipilih untuk membalut di sisi permukaan, tidak sampai turun pada tahap representasi. Sukar untuk mendapatkan gambaran utuh yang metaforistik yang bisa direfleksi oleh saya, sebagai manusia “masa kini”, seperti yang diharapkan dari efek alienasi ala Brecht, terlebih untuk sampai pada taraf pendiskusian diri, kritik diri, dan perbaikan diri.

Adengan yang menggambarkan betapa depresifnya Ophelia saat berbicara di pelukan kakaknya, Laertes, yang baru datang dari Perancis, terasa menjadi hambar―dan pada tahap tertentu, menjadi menggelikan―dengan komposisi blocking para aktornya: Raja Claudius dan Ratu Getrude hanya berdiri memandangi kakak-beradik yang tengah dilanda duka-nestapa itu, tanpa memberikan respon yang signifikan. Dalam bayangan saya, pada adegan itu akan tampak terkesan Brechtian andai saja Raja Claudius dan Ratu Getrude meresponnya dengan berdansa, misalnya, daripada berdiri cengo begitu rupa; sekaligus untuk merespon background musik agar kehadiran musik itu pun tidak hanya menjadi ilustrasi dan tempelan untuk membuat adegan terkesan sendu mengharu-biru.

Hal yang lebih kurang sama terjadi juga dengan performa akting Stanislavskyan dalam konteks pemeranan. Peran Hamlet yang dimainkan Irwan Jamal, yang menempati porsi terbesar dalam lakon ini (konon, tokoh Hamlet adalah tokoh utama yang menempati porsi terpanjang dibandingkan dengan porsi para tokoh utama dalam lakon-lakon Shakespeare lainnya), seperti kehilangan jejak tafsir untuk motif super-objektifnya. Yang muncul pada peran Hamlet kali ini seolah hanyalah hentakan kemarahan yang itu pun diartikulasikan nyaris dengan teriakan.

Peran Laertes (Heksa Ramdono) lebih mengesankan jika Laertes memiliki “problem orientasi seksual”: selain dimainkan dengan cara “melambai”, cara Laertes “menyentuh” Ophelia pun, tampak terkesan lain, seperti bukan sentuhan seorang kakak terhadap adiknya. Sebenarnya boleh jadi menarik untuk menampilkan karakter Laertes dengan “problem orientasi seksual” semacam itu. Hanya, sayangnya, hal itu tidak digali dan dibongkar lebih jauh, sehingga karakter Laertes itu pun menjadi kehilangan motif dan basis referensialnya. Begitu pun dengan karakter Ophelia (Zulfa Laila), yang muncul adalah Ophelia yang penuh histeria; sementara peran Claudius yang dimainkan Okky Sandi, malah mengingatkan saya pada jejak gestur aktingnya Muhamad Sunjaya.

Dari keseluruhan pertunjukkan itu, hanya adegan pertemuan Hamlet dengan Roh Raja Hamlet yang boleh disebut sebagai adegan terbaik. Penempatan lampu spot ke tengah panggung yang menyorot ke arah Hamlet yang berlutut di hadapan roh ayahnya, memberi gradasi aksen hitam-putih dan terang-gelap yang secara visual sungguh sedap dinikmati.

Jika berbicara soal tafsir atas teks, Fathul sepertinya tidaklah menafsirkan teks Hamlet sebagaimana yang tertulis di liflet pertunjukkan: hanya memotong dan menghilangkan beberapa bagian agar teksnya lebih pendek. Di satu sisi―sebagaimana yang dijelaskan pula dalam lifletnya―ada keinginan untuk memetaforakan, mendistorsi, dan sekaligus mengeleminasi kecerewetan berlebihan dan sikap yang terlalu menjelas-jelaskan dalam teks Hamlet Shakespeare ini; namun di sisi lain tampaknya tidak ada cukup upaya untuk membongkar lebih lanjut, dan menyusun ulang teks tersebut (Kenneth Branagh, saya pikir, bisa mengintrepetasikan teks Hamlet dengan gilang-gemilang lewat filmnya itu).

Alhasil, pada pementasan Hamlet yang disutradarai Fathul ini hampir tidak ada adagen yang diubah secara signifikan dari teks aslinya. Begitu pun dengan artikulasi verbal yang menjadi dialog tokoh-tokohnya: tetap mempertahankan bahasa liris-puitis Shakespeare yang telah diindonesiakan. Seandainya di tingkat artikulasi verbalnya ini pun dibongkar dan disusun ulang (terutama pada konteks mise-en-scene-nya), barangkali Hamlet akan semakin pejal dan bisa direfleksi sebagai realitas sosial kontemporer oleh manusia “masa kini”, bahkan tanpa perlu diembel-embeli dengan tempelan konsepsi Brechtian segala.

Ya, Hamlet yang bertemu dengan saya kali ini adalah Hamlet yang serba tanggung, “ikan bukan, daging tidak”: bertemu dengan Hamlet si peragu yang sebenarnya. Jika merujuk pada ucapan Hamlet yang saya kutip di bagian pembuka tulisan ini, barangkali itulah juga yang kemudian menjadi pertanyaan untuk pementasan ini: “to be, or not to be ‘menjadi, atau tidak sama sekali.’”

Agar nasibnya tidak setragis Hamlet, kiranya pertanyaan itulah yang pertama-tama harus “ditaklukkan”.

²²²

Mungkin Anda akan Tertarik

2 komentar

jiwateater 10 Desember 2008 - 23:19

numpang baca ttg teater, kang

Balas
lee birkin 5 Januari 2009 - 14:30

punya naskahnya yang Indonesia tidak? aku ingin pentaskan. trims.

Balas

Tinggalkan komentar

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00