Beranda » Seni & Budaya » Film » Ridicule: Satir dan Ironi Aristrokasi

Ridicule: Satir dan Ironi Aristrokasi

Oleh Moh. Syafari Firdaus
0 komentar 418 dilihat 8 menit membaca
Ridicule

Ketika membicarakan Montesquieu, di dalam sebuah esainya Franz Neumann menulis demikian: “Baik Louis XV maupun Louis XVI tidak mungkin dapat membangkitkan harapan bahwa monarki akan sanggup dan mempunyai keberanian untuk menanggalkan segala kearistrokatannya, menyingkirkan semua hak istimewanya, untuk menciptakan kebebasan ekonomi, meletakkan dasar-dasar keuangan yang kuat, menyusun suatu reorganisasi administrasi, membersihkan segala benalu, dan meleburkan dirinya ke dalam pelukan masyarakat.”

Jika menyimak film Ridicule (garapan sutradara Patrice Leconte, 1997), kiranya kita akan bisa sedikit mendapat gambaran mengapa Neumann sampai bisa mengemukakan pendapat semacam itu. Dengan background historis masa pemerintahan Louis XVI, Ridicule, yang secara harfiah kurang lebih berarti “(ke)konyol(an)”, tampaknya memang ingin mengedepankan bagaimana kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan kalangan Istana Versailles, terutama yang menghinggapi para aristrokatnya: bahwa, adalah sangat mungkin bukan (hanya) karena ada begitu banyak penyelewengan dan kelemahan yang telah menyebabkan pemerintahan Louis XVI bobrok, namun segala kebobrokkannya itu justru menjadi lebih mungkin terjadi karena mereka terbiasa melakukan kekonyolan-kekonyolan.

Kiranya itulah yang menjadi salah satu hal yang ingin dikedepankan film Ridicule ini. Meskipun tidak secara langsung menggambarkan bagaimana konstelasi sosio-politis Perancis pada saat itu secara gamblang, namun dari pilihan fokus film ini yang menyoroti ihwal bagaimana keganjenan dan kekenesan para aristrokat Perancis dengan segala kemewahan gaya hidupnya, yang lebih mementingkan hak-hak istimewa diri mereka sendiri daripada memikirkan kesejahteraan umum, yang nota-bene mereka adalah orang-orang dekat disekeliling Louis XVI, seolah-olah ingin lebih menegaskan bagaimana realitas Perancis di penghujung keruntuhan monarkinya.

Ditengok secara keseluruhan, film Ridicule ini sebenarnya tidaklah terlalu istimewa. Kecuali aspek satirisme dan ironi yang tampaknya memang sengaja ingin ditonjolkan, film ini terbilang biasa saja dan nyaris tanpa kejutan. Namun, satu catatan khusus mungkin masih tetap perlu diberikan untuk Remi Waterhause, Micehel Fessler, dan Eric Vicaut yang menangani skenarionya: meski dari segi cerita tidaklah menonjol (atau mungkin karena mereka memang tidak bermaksud untuk mengandalkan kekuatan cerita), namun mereka bisa dengan cukup cerdas menempatkan saritisme dan ironinya itu. Hal ini menjadi penting untuk dicatat, karena di sinilah yang justru menjadi letak kekuatannya.

Penggambaran ihwal bagaimana realitas kehidupan aristrokat zaman Louis XVI—fetisisme gaya hidupnya, intrik, obsesi-obsesi mereka—diketengahkan lewat entri kehadiran tokoh Gregoire Ponceludon de Malavoy (Charles Berling),  seorang insinyur muda dan tuan tanah idealis, yang datang ke Istana Versailles untuk bertemu Louis XVI, dengan niat mulia memperjuangkan nasib masyarakat di daerahnya agar mereka bisa berpenghidupan lebih baik: membangun drainase, karena tanah rawa yang menjadi sumber penghidupan masyarakat di daerahnya itu sangat tidak layak untuk digarap.

Dalam penilaian pada saat itu, niat mulia Ponceludon tersebut mungkin akan bisa dianggap naif dan “konyol” juga. Apa yang bisa diharapkan dari dirinya yang hanya seorang “insinyur kampung”, sementara yang ingin diperjuangkannya adalah sebuah harapan dari kasta terendah yang sama sekali jauh dari perhatian (atau bahkan sama sekali tidak diperhatikan) Louis? Ya, sebuah paradoks; dan demikian pula Ponceludon digambarkan pada awalnya, sebelum ia berteman dengan dokter Marquis de Bellegarde (Jean Rochefort), seseorang yang sangat lihay dan tahu betul bagaimana adat istana dan para aristrokatnya. De Bellegarde pula yang mengajarkan kepadanya bagaimana cara-cara untuk bisa menembus tembok Versailles, hingga pada akhirnya Ponceludon harus bergaul dengan kalangan aristrokat karena lewat merekalah yang akan mungkin untuk mengantarkannya pada Louis.

Barangkali ini adalah bagian yang paling menarik, karena satirisme dan ironi yang muncul dari kekonyolan tingkah para aristrokat itu mulai diketengahkan. Di sini bisa jelas tergambar bagaimana keganjenan dan kekenesan para aristrokat yang hanya berpikir tentang kesenangan diri mereka sendiri. Kekonyolan mereka—sebagaimana juga yang kiranya berlaku bagi Louis XVI—mungkin adalah karena hidupnya hanya dipenuhi dengan lelucon: obrolan di meja makan senantiasa hanya diisi dengan lelucon-lelucon yang bisa mereka tertawakan. (Meskipun itu tetap dibatasi oleh aturan tertentu; ya, semacam kode etik kearistrokatan. Satu kode etik yang diajarkan de Bellegarde kepada Ponceludon adalah “jangan tertawakan lelucon sendiri, cukup tersenyum, dan jangan kelihatan gigi.”) Yang cukup mengharukan, lelucon-lelucon di meja makan para aristrokat itu ternyata selalu sampai di telinga Louis XVI. Betapa perhatiannya Louis XVI ini. Bahkan, yang mungkin tampak sangat konyol adalah, keberpengaruhan (dan juga kejatuhan) seseorang akan bisa ditentukan oleh “bagaimana leluconnya”. Hingga tidaklah aneh, agar bisa merebut hati Louis, lelucon-lelucon itu seperti diperlombakan di antara para aristrokat sendiri, satu sama lain saling bersaing, bahkan dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh tokoh Abbot of Vilecourt (Bernard Giradeau) dan tokoh Madame de Blayac (Fanny Ardant)—dua tokoh yang digambarkan bertipikal aristrokat tulen—untuk mengalahkan Ponceludon, dan sekaligus menyingkirkannya dari Versailles.

Mungkin benar, tampaknya memang bisa dipandang konyol jika melihat kelakukan para aristrokat yang hanya berkutat dengan lelucon-lelucon semacam itu; bahkan adalah ironis kalaupun harus dikontraskan dengan realitas hidup masyarakat umum sebagaimana yang tergambar pada masyarakat di daerah Ponceludon. Namun, di sisi lain, ada satu hal yang kiranya patut dicatat dalam hal ini: “fenomena lelucon” di kalangan aristrokat Perancis pada saat itu, barangkali bisa juga mengindikasikan bahwa mereka sebenarnya cukup terobsesi juga dengan “kecerdasan”; sebagaimana yang diperlihatkan dalam film ini, hanya lelucon yang cerdas dan orosinil saja yang bisa mereka terima. Seakan-akan di sisi ini ingin ditunjukkan bahwa ada tradisi Voltairian (nama Voltaire beberapa kali sempat disebut dalam film ini)—yang memang dikenal sangat piawai dalam membuat lelucon-lelucon cerdas —yang melekat pada mereka (Film Ridicule ini pun sebenarnya mengesankan mengadopsi gaya Voltairian. Pengambilan sudut pandang humanisme sebagaimana yang diwakilkan pada tokoh Ponceludon, serta penonjolan pada kekuatan satir dan ironi yang dimunculkan dari hal-hal yang sepele itu, boleh disebut khasnya Voltaire). Hal mungkin yang membedakannya, jika para aristrokat memfungsikan lelucon-leluconnya itu hanya sebagai bahan hiburan dan kesenangan, sementara Voltaire justru lebih memaksudkannya sebagai satir, ironi, sekaligus sebagai sarana bagi lontaran kritiknya.

Pilihan untuk menyoroti “kekonyolan” gaya hidup para aristrokat Perancis pada masa Louis XVI dalam film ini pada akhirnya memang menjadi menarik untuk dikedepankan. Keberadaan aristrokat Perancis pada konteks saat itu tampaknya memang sangat teristimewa, sungguh cukup jauh berbeda—kalaupun harus dibandingkan—dengan para aristrokat Inggris, misalnya. Meskipun keduanya berbentuk monarki, dengan paham liberal-demokrat yang dijalankan Inggris, para aristrokat Inggris tidak cukup diberi peluang untuk memiliki hak-hak istimewa secara berlebih sebagaimana aristrokat Perancis. Dengan despotisme yang dijalankan Louis, aristrokat Perancis diberi kesempatan untuk turut berkuasa dengan segala privilege yang dimilikinya. Sejumlah otoritas bisa dipegang oleh mereka, meski yurisdiksinya itu kerap membingungkan. Mereka pun diperkenankan untuk bisa mengeluarkan letre de cachet yang dapat menjebloskan seseorang yang tidak disukainya ke dalam penjara. Dengan kekuasaan dan hak-hak yang tak kepalang tanggung istimewanya itulah, yang menjadikan mereka besar kepala, bisa berlaku sewenang-wenang, dan kerap menyengsarakan rakyat.

Maka, kiranya menjadi sangat wajar jika pada masa itu—bahkan semenjak rezim Louis XV—ada begitu banyak suara-suara kritis yang menyerang kekuasaan Louis dan sekaligus menganjurkan gerakan pencerahan/reformasi di Perancis. Selain Montesquieu dan Voltaire, setidaknya pada saat itu ada Jean-Jacques Rousseau, Denis Diderot, serta Jean d’Alembert, yang gigih menuntut Louis untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan ketimpangan yang terjadi. Namun, tanpa dibarengi dengan kesadaran dari pihak rezimnya itu sendiri, adalah sangat sulit baik bagi Louis XV maupun Louis XVI  (terlebih lagi hal itu tidak mungkin bagi Louis XIV yang dengan tegas menyatakan: “l’État c’est moi  ‘Akulah negara’”) untuk memperbaiki sebuah sistem yang kiranya telah telanjur mendarah daging, terutama bagi kalangan aristrokatnya yang sangat teristimewakan itu. Jangankan untuk menerima gagasan-gagasan Montesquieu atau Rousseau yang progresif, yang implikasinya akan sangat mungkin membahayakan kedudukan tahta kekuasaannya; bahkan untuk gagasan-gagasannya Voltaire yang cenderung lebih konservatif pun pada kenyataannya tetap jauh di luar pertimbangan mereka.

Akibat dari pilihan rezim Louis untuk tetap berkeras kepala ini, maka menjadi tidak terlalu mengejutkan jika pada akhirnya harus membuahkan sebuah sejarah revolusi: 14 Juli 1789, rezim Louis XVI digasak habis, yang menandai pula keruntuhan monarki Perancis. Ya, Louis XV barangkali masih bernasib cukup baik; bisa wafat dengan selamat, dan tetap berpredikat sebagai seorang raja hingga akhir hayatnya. Namun, malang bagi Louis XVI: setelah lebih-kurang 15 tahun memerintah, ia harus merelakan dirinya untuk mengakhiri segala kemegahan kekuasaannya di ujung guillotine; sementara, di sisi lain, dalam cerita di film ini, pada tahun yang sama Ponceludon de Malavoy justru bisa mewujudkan keinginannya. 

***


*) Ditulis sebagai bahan diskusi untuk film Ridicule, di CCF Bandung, 13 Oktober 2000.

Mungkin Anda akan Tertarik

Tinggalkan komentar

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00