Konsep Inkarnasi & Mitologi Ibu Bumi dalam Film Avatar James Cameron

I.

Film Avatar yang disutradarai oleh James Cameron boleh jadi memang merupakan sebuah film yang fenomenal. Setidaknya, satu yang bisa menjadi ukuran, film yang dirilis tahun 2009 itu sampai saat ini tercatat sebagai film box office dengan pendapatan paling tinggi: lebih dari US$ 2,78 miliar[1] atau kira-kira setara dengan Rp 27,8 triliun![2] Pendapatan film Avatar ini 11 kali lipat lebih banyak dari APBD Kota Bandung untuk tahun 2011 yang (hanya) ditetapkan sebesar Rp 2,5 triliun.[3]

Sebagai sebuah karya film, Avatar saya pandang biasa saja. Film yang bergenre science fiction tersebut bertipikal seperti sebagian besar film Hollywood: cenderung lebih mengandalkan penceritaan yang menghibur dengan ramuan visual untuk “memanjakan” (mata) para penonton. Selain aspek yang berkenaan dengan “referensi saintifik” untuk habitat makhluk-makhluk fiktif yang hidup di sebuah tempat yang bernama Pandora, teknik special visual effect, dan computer-generated imagery (CGI) yang memang digarap dengan sangat mengesankan, nyaris tidak ditemukan aspek lain, terutama yang menyangkut ranah filmisnya, yang terlalu istimewa dari film ini. Bahkan, pada konteks tertentu, tema kolonialisme, imperialisme, dan ekologi yang muncul di film Avatar tampak dibangun dari dan dengan kekentalan paradigma orientalisme.

Dalam esai pendek ini saya tidak bermaksud untuk membicarakan ranah filmis film Avatar. Titik berat gagasan yang ingin saya kedepankan dalam esai ini hanya akan berkisar di seputar konsep inkarnasi dan mitologi ibu bumi yang mengemuka di film Avatar sebagai gagasan penting dalam cerita. Dalam pembahasannya, saya akan mengaitkan konsep inkarnasi dan mitologi ibu bumi tersebut dengan pemikiran, filosofi, dan sistem kepercayaan yang tumbuh, berkembang, dan diyakini oleh sejumlah kelompok masyarakat.

II.

James Cameron rupanya tidak semata menggagas Avatar tanpa merujuk pada konteks tertentu. Paling tidak, istilah avatar telah dipakai untuk menandai karakter atau “alter ego” dari para pengguna komputer dan internet. Avatar untuk para pengguna komputer dan internet ini biasanya berbentuk representasi grafis. Pada konteks yang lebih khusus, avatar  —yang diadopsi dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata avatara atau awatara— telah dikenal pula sebagai satu konsepsi yang tumbuh dalam agama Hindu.[4]

Dalam konsepsi Hindu, dengan pemahaman sederhana, avatar merupakan inkarnasi atau manifestasi dari “Yang Agung” (Supreme Being) yang turun menjelma dari alam transendental ke dunia. Sosok “Yang Agung” yang dimaksud biasanya merujuk pada Wisnu. Bentuk inkarnasinya itu pun kemudian dipilah lagi, menjadi “inkarnasi penuh” (purna-awatara, yang memiliki kekuatan dan kuasa lengkap seorang dewa) dan “inkarnasi parsial” (amsa-awatara). Avatar ini memiliki “tubuh tampak”, bukan tubuh nyata; dia tidak benar-benar lahir dan tidak benar-benar mati.[5]

Lebin jauh dijelaskan, Wisnu memiliki sepuluh inkarnasi penuh, dan sembilan di antaranya telah muncul untuk mengembalikan keseimbangan kosmis ketika dunia telah jatuh keluar dari ekuilibirium.[6] Sosok inkarnasi Wisnu yang paling umum dikenal adalah Rama dan Sri Kreshna.[7] Para avatar inkarnasi Wisnu itu mengemban tugas untuk menghancurkan kejahatan dan mengembalikan keseimbangan kosmis yang telah dirusak oleh iblis (asura) yang telah terlalu kuat dan menggunakan kekuatan itu untuk menindas.

James Cameron memang tidak sedang bermaksud untuk mengedepankan konsepsi avatar Hindu untuk kisah di filmnya itu. Tokoh Jake Sully yang pada kisahan film itu menjadi tokoh utama avatar, sama sekali tidak dimaksudkan untuk dibaca sebagai inkarnasi Wisnu atau inkarnasi dari dewa-dewa (Hindu) lainnya. Pada konteks ini, Cameron hanya meminjam konsepsi inkarnasi dalam pemahaman yang paling umum, yaitu menitis atau menjelma. Konsep avatar yang digagas Cameron lebih hanya sebatas “tubuh penghubung”, “tubuh antara”, atau “tubuh tampak”: manusia hibrid dengan menggunakan wahana tubuh Na’vi yang terhubung, dan digerakkan secara mental-genetik.[8]

Dengan kata lain, avatar Cameron adalah avatar saintifik, yang profan, yang tidak turun dari alam transenden: hanya sebatas tubuh manusia yang menubuh pada tubuh yang lain. Cameron seolah-olah tengah berusaha menjelaskan konsep inkarnasi agar bisa diterima secara logis: bahwa pemindahtubuhan antarmakhluk itu adalah mungkin, dan itu bisa dilakukan dengan metode saintifik tertentu. Dengan metode saintifik ini, setiap manusia berpotensi untuk bisa menitis atau menjelma pada tubuh lain.

Proses menjelma akan berlangsung selama ada keterhubungan antara avatar sebagai “tubuh tampak” dengan mental-genetik dari “tubuh nyata” manusia yang menggerakkannya. Keterbatasan raga bukanlah penghalang, karena yang utama adalah mental-genetiknya (psike atau jiwa).[9] Sebagaimana yang diceritakan di dalam film itu, pada “tubuh nyata”, tokoh Jake Sully berkaki lumpuh, hidup di kursi roda; namun, tidak demikian dengan avatar Jake Sully yang menjadi “tubuh tampak”-nya. Oleh karena digerakkan secara mental-genetik, Jake Sully bisa menggunakan kedua kakinya: dia adalah avatar yang cekatan di Pandora,[10] terlebih karena Jake Sully memiliki latar belakang sebagai anggota marinir yang, boleh diasumsikan, telah terlatih untuk berhadapan dengan kondisi dan lingkungan hutan sebagaimana yang menjadi latar dari tempat yang bernama Pandora itu.

Meskipun Cameron tidak sedang menyuguhkan avatar sebagaimana yang dijelaskan dalam konsepsi Hindu, namun ada kesamaan (atau, paling tidak, kemiripan) di antara keduanya. Hal itu bisa cukup terlihat, terutama menyangkut hal-ihwal kemunculan avatar dan tugas yang harus diembannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Kreshna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita,[11] tugasnya turun-menitis adalah untuk menyelamatkan dunia, memulihkan perdamaian, dan harmoni. Demikian pula halnya dengan avatar dalam kisah film Cameron yang pada konteks ini diwakili tokoh Jake Sully: dia datang ke Pandora untuk “menyelamatkan” Pandora dan masyarakat Na’vi.

Jake Sully menjadi avatar nyaris tanpa persiapan dan pretensi. Pada awalnya, Sully datang ke Pandora untuk menggantikan saudara kembarnya yang mati. Keberadaannya di Pandora sebagai avatar pun bahkan sempat tak dihendaki karena yang dibutuhkan adalah seseorang yang berkualifikasi saintis seperti saudara kembarnya, bukan seorang mantan anggota marinir yang cacat seperti dirinya. Selain dengan menurunkan pasukan militer, para saintis itu dibutuhkan untuk meneliti dan mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam Pandora, terutama untuk mendukung eksploitasi unobtanium yang dikerjakan oleh Resources Development Administration (RDA) Corporation. Keberadaan Jake Sully kemudian bisa diterima setelah diakomodasi oleh militer: Jake Sully akan jadi mata bagi militer dan korporasi di tengah para saintis, dengan tugas untuk mencari cara agar mereka bisa lebih cepat menaklukkan Pandora. Dengan latar belakang cerita seperti itulah tokoh Jake Sully, Sang Avatar, ada dan memainkan peranannya.

Sebagaimana tipikal sebagian besar film Hollywood, yang kemudian terjadi dalam kisah film ini pun adalah semacam kisah pemeo “from zero to hero”:  singkatnya, Jake Sully bisa diterima dan hidup besama masyarakat Na’vi.[12] Lebih dari itu, Jake Sully pun berhasil menggali kultur masyarakat Na’vi.

Keberterimaan Jake Sully di tengah-tengah masyarakat Na’vi ini terutama setelah sosok avatar-nya —disaksikan oleh Neytiri, putri pemimpin Omaticaya, suku Na’vi yang menjadi sentral cerita dalam film ini—telah dipilih untuk disentuh dan “diselubungi” oleh Eywa, yang merupakan makhluk spiritual, kekuatan penuntun Pandora, “Yang Agung”-nya masyarakat Na’vi. Eywa ini pula yang diyakini masyarakat Na’vi sebagai penjaga ekosistem Pandora agar tetap berada dalam keseimbangan yang sempurna.

Demikianlah, ketika konfilk semakin menajam antara manusia —atau sky people, ‘orang-orang langit’ dalam sebutan Na’vi— yang semakin destruktif mengeksploitasi Pandora dengan Na’vi yang berusaha untuk mempertahankan diri dan lingkungannya, avatar Jake Sully (dan beberapa saintis) justru berada di pihak Na’vi. Pada saat inilah diperlihatkan bagaimana tugas avatar sebagai “sang juru selamat.” Setelah berhasil menjinakkan dan menunggangi Toruk Makto, burung legendaris yang diyakini Na’vi sebagai makhluk bertuah dan hanya bisa ditunggangi oleh orang terpilih, avatar Jake Sully bisa mempersatukan seluruh klan masyarakat Na’vi yang ada di Pandora, melakukan perlawanan terhadap angkara dan kesewenangan manusia, serta mengembalikan Pandora pada harmoninya.

Toruk Makto menjadi faktor penentu bagi Jake Sully. Selain Jake Sully telah diselubungi oleh Eywa, Toruk Makto ini pun menjadi simbol, semacam mukzizat, yang membuktikan dan sekaligus meyakinkan bahwa dirinya bukan sekadar avatar yang lahir dari intelegensi manusia, namun avatar yang turun sebagai inkarnasi dari sosok “Yang Agung” yang diyakini masyarakat Na’vi di Pandora. Jika (harus) dikaitkan dengan konsep avatar dalam agama Hindu, avatar Jake Sully dengan Toruk Makto-nya ini boleh jadi serupa dengan Kalki, seorang ksatria yang diyakini sebagai avatar Wisnu ke-10 yang mengendarai Kuda Terbang Putih yang akan turun ke dunia di akhir zaman.

Di akhir cerita, setelah menunaikan tugasnya sebagai avatar, dengan bantuan Eywa, Jake Sully kemudian memilih untuk memindahtubuhkan jiwanya ke dalam “tubuh tampak” yang menjadi avatar-nya. Sebagaimana Rama dan Sri Kreshna yang setelah menjalankan tugas kembali menjadi manusia, Jake Sully pun menjadi seorang Na’vi sepenuhnya.

III.

Mitologi atau dunia mitos yang sudah dikenal luas boleh dipandang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kisah film Avatar Cameron. Pemilihan nama Pandora yang menjadi latar tempat di film Avatar ini, misalnya.

Jika merujuk pada mitologi Yunani, Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan di bumi. Hephaestus, dewa penciptaan, menciptakan Pandora dari air dan tanah atas perintah Zeus. Zeus sendiri berkehendak untuk menjadikan Pandora sebagai bentuk hukuman bagi umat manusia yang telah diberi api hasil curian Prometheus. Para dewa kemudian memberkati Pandora dengan berbagai bakat dan hadiah; Aphrodite memberi kecantikan, kepandaian bermusik diberikan Apollo, Hermes memberi kepiawaian persuasi, Hera memberinya keingintahuan, dan sebagainya. Nama Pandora sendiri berarti “yang terberkati oleh semua” (ada juga yang menafsirkannya sebagai “yang memberkati semua”). Oleh ahli mitologi seperti Richmond Y. Hathorn, Pandora disebut pula sebagai nama lain dari Dewi Bumi.[13]

Dengan rujukan mitologi Yunani tersebut, dengan cara pandang yang paling sederhana, kiranya demikian pula Pandora yang digambarkan Cameron di dalam kisah filmnya itu. Pandora memberikan berkah sekaligus kutukan bagi manusia: menjadi berkah karena manusia bisa menemukan sumber unobtanium yang dibutuhkan, tapi kemudian menjadi kutukan ketika manusia hanya berkehendak untuk mengekploitasinya habis-habisan tanpa memperhatikan harmoni dan keseimbangan alam.

Harmoni dan keseimbangan alam dalam konteks masyarakat Na’vi di Pandora dijaga oleh Eywa. Entitas Eywa ini pun memiliki banyak kemiripan dengan berbagai mitologi, terutama dalam kaitannya dengan mitologi Ibu Bumi yang hidup dan berkembang di hampir seluruh kelompok masyarakat yang ada di muka bumi. Untuk sekadar menyebut beberapa, Eywa bisa disejajarkan dengan Gaia dalam mitologi Yunani, Terra dalam mitologi Romawi, atau Prthivi (Pratiwi atau Pertiwi) dalam agama Hindu.

Eywa sebagai Ibu Bumi masyarakat Na’vi ini bersemayam di sebuah pohon yang disebut sebagai, Mother Three, ‘Pohon Ibu’. Pohon Ibu ini merupakan wujud penjelmaan Eywa dan sekaligus simbol bagi keberadaan Na’vi secara keseluruhan; bukan hanya untuk mereka yang masih hidup, namun juga bagi ruh para leluhur masyarakat Na’vi. Pohon Ibu ini adalah “pusat” yang berperan sebagai penyimpan memori, dan sarana penghubung bagi seluruh Na’vi dan makhluk-makhluk yang ada di Pandora. Dengan adanya Pohon Ibu ini pula Pandora memiliki kekuatan dan daya tahan, serta terpaut menjadi satu sistem kesatuan organis yang hidup, yang memungkinkan Pandora bisa tetap berada dalam keseimbangan dan harmoninya.[14]

Pohon Ibu tempat bersemayamnya Eywa, jika dikaitkan dengan mitologi, serupa dengan Yggdrasil, Pohon Kehidupan, simbol dari perwujudan suci dalam mitologi bangsa Nordik. Dalam mitologi itu, Yggdrasil adalah pohon yang menghubungkan sembilan dunia (dalam kosmologi Nordik), akar dari semua kehidupan, dikirim untuk menjaga tatanan alam kehidupan di Bumi.[15] Yggdrasil menyeimbangkan tiga dunia: dunia dewa, dunia manusia, dan dunia bawah.

Pada konteks tertentu, mitologi Ibu Bumi dalam wujud penjelmaan pohon dikenal pula dalam mitologi Sunda: Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Sri.[16] Nyi Pohaci adalah putri angkat Batara Guru (penguasa dunia atas). Nyi Pohaci tidak dilahirkan, tapi berasal dari sebutir telur yang merupakan tetesan air mata Dewa Naga Anta (penghuni dunia bawah). Nyi Pohaci meninggal di usia remaja. Atas perintah Batara Guru, jasad Nyi Pohaci kemudian dikuburkan di bumi (dunia tengah), di tempat hidup manusia.

Dari kuburan Nyi Pohaci itulah muncul berbagai tumbuhan yang berguna bagi masyarakat Sunda. Dari bagian kepala Nyi Pohaci, tumbuh pohon kelapa; dari mata kanan, tumbuh padi putih; mata kirinya menjadi padi merah; sedangkan padi ketan tumbuh dari hatinya; dari paha kanan tumbuh bambu aur; bambu tali tumbuh dari paha kiri; sedangkan betisnya menjadi pohon enau; dari usus tumbuh akar tunjang; dan rambutnya menjadi rerumputan. Singkatnya, semua tumbuhan pokok yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat Sunda berasal dari tubuh Nyi Pohaci.[17]

Motif kemunculan Ibu Bumi sebagaimana yang tersimpan di berbagai mitologi tersebut kerap dikaitkan dengan kesuburan yang memberi kehidupan: dia adalah pelindung, penghubung, penjaga, dan sekaligus juga pemberi kelangsungan hidup bagi umat manusia. Itu pula yang menjadi sebab, Ibu Bumi menjadi entitas yang begitu dihormati dan diagungkan: dipuja sebagai sesuatu yang suci, dan senantiasa akan ada ritus untuknya.

Bagi masyarakat Na’vi di Pandora, Eywa yang bersemayam di Pohon Ibu yang menjadi Ibu Bumi mereka adalah segalanya: ke Pohon Ibu itulah mereka kemudian “pulang”, mengadu, dan sekaligus mencari perlindungan setelah rumah pohon yang menjadi tempat tinggal mereka diluluhlantakkan oleh serangan manusia. Jika Pohon Ibu yang menjadi “pusat” Pandora itu pun dihancurkan, ras Na’vi diyakini akan musnah pula sepenuhnya.

IV.

Konsep inkarnasi dan mitologi Ibu Bumi boleh disebut sebagai pola umum, kesadaran kolektif atau arketipe dalam istilah Jung,[18] yang hidup dan berkembang di sebagian besar kelompok masyarakat yang ada di muka bumi. Dengan pemahaman sederhana, kedua hal tersebut membawa pandangan tentang betapa pentingnya keseimbangan dan harmoni kosmis: manusia dan alam adalah kesatuan yang saling dipertautkan satu sama lain, saling memberi dan berbagi. Konsep inkarnasi, secara langsung atau tidak, membuka gagasan dan pemahaman tentang adanya keterhubungan antara yang imanen dengan yang transenden; sedangkan mitologi Ibu Bumi mengungkap ihwal kosmologi, spiritualitas, pola pikir, yang semua itu kemudian terwujud lewat penyikapan dan tindakan ketika manusia dituntut untuk berhadapan dengan alam dan melakukan berbagai hal demi kelangsungan hidupnya.

Pada konteks masyarakat Na’vi, semua itu jelas tercermin dengan adanya keterhubungan (interkonektivitas) antara diri mereka dengan alam dan lingkungannya. Mereka tidak bisa sembarangan membunuh makhluk hutan, misalnya. Bahkan untuk berburu, mereka harus terlebih dulu memiliki izin dari hutan. Ketika binatang buruan mereka mati, sebagaimana yang diucapkan avatar Jake Sully, masyarakat Na’vi pun akan mengantarnya dengan doa ini: “Aku ada di dalam dirimu, Saudaraku, dan terima kasih. Jiwamu akan menyatu bersama Eywa, dan tubuhmu akan menjadi bagian dari kami.” Dengan kata lain, berburu adalah sebuah ritus, akan menjadi tindak spiritual.

Berbagai hal yang digambarkan Cameron mengenai masyarakat Na’vi dalam filmnya ini, terlebih dengan adanya rujukan sejumlah konsepsi dan mitologi, boleh dipandang sebagai restropeksi atas kebudayaan lampau “masyarakat primordial” yang kini nyaris sudah terkikis habis oleh kebudayaan “masyarakat modern.” Pada konteks tertentu, Cameron seperti berusaha untuk meyakinkan kembali bahwa mitos, yang diyakini oleh “masyarakat primordial”, memiliki nilai-nilai logis dan, bahkan, dengan pengetahuan tententu, sangat mungkin bisa diterangkan secara saintifik. Sebaliknya, logos, yang kerap menjadi sandaran “masyarakat modern”, justru berpotensi menjerumuskan, terutama ketika prinsip-prinsip rasionalitas yang menjadi sandarannya itu lebih memusat pada manusia, dan mengabaikan sisi lain di mana manusia itu berada, yaitu alam dan lingkungannya.

Tentu saja, lewat kisah filmnya itu Cameron tidak sedang mengajak agak manusia modern yang menjadi penikmatnya untuk berbondong-bondong  kembali kepada mitos. Mitos, seperti mitologi Ibu Bumi yang muncul pada filmnya itu, lebih ditempatkan sebagai alegori dari kesadaran sebagian besar manusia modern hari ini yang telah meninggalkan kearifan dan spiritualitasnya ketika berhadapan dengan alam.

 

____________________________________________________

[1] Wikipedia, List of Highest-Grossing Films.

[2] Dihitung dengan kurs US$ 1 = Rp 10.000,00

[3] DPRD Sahkan APBD Kota Bandung 2011, Pikiran Rakyat Online, 31 Desember 2010.

[4] Ketika diwawancara oleh Rebecca Winters Keegan dari Majalah Time (Q&A with James Cameron, 11 Januari 2007), Cameron memang sempat menyinggung avatar yang telah dikenal dalam konsepsi Hindu, meskipun dia sendiri tidak memberi penjelasan lebih jauh tentang hal tersebut.

[5] Klaus K. Klostermaier, A Concise Encyclopedia of Hinduism, 2003, hal.33.

[6] James G. Lochtefeld, The Illustrated Encyclopedia of Hinduism Vol.01, 2002, hal. 72-73. Sepuluh inkarnasi Wisnu yang diterima secara umum adalah Matsya (Ikan), Kurma (Kura-kura), Waraha (Babi Hutan), Narasimha (Manusia Berkepala Singa), Wamana (kurcaci), Parasurama (Rama yang bersenjatakan kapak sakti), Ramachandra (Sang Pahlawan dalam Ramayana), Kreshna, Budha (Sidartha Gautama), dan Kalki (Kesatria berwahana Kuda Terbang Putih). Sosok-sosok inkarnasi Wisnu ini merupakan urutan “evolusi”: tiga inkarnasi yang pertama adalah sosok binatang, yang keempat adalah makhluk hibrid (manusia binatang), dan inkarnasi selanjutnya menitis sebagai sosok-sosok pahlawan mitologis; terkecuali Budha, seseorang manusia nyata yang telah dimasukkan ke dalam dewa-dewa Hindu. Sosok inkarnasi kesepuluh, Kalki, diyakini akan datang menyambut akhir zaman. Sedangkan inkarnasi parsial Wisnu—sebagai orang bijak, orang-orang kudus, dan dewa-dewa— tidak terhitung jumlahnya, selain juga tak terbatas potensinya.

[7] Lochtefeld, op. cit., hal. 73. Meskipun lebih sering dikaitkan dengan Wisnu, konsep inkarnasi ini diterapkan pula untuk dewa-dewa Hindu lain. Contoh inkarnasi parsial bisa dibaca dalam epos Mahabharata: Pandawa Lima adalah inkarnasi parsial dari beberapa dewa. Para pemuja Siwa kemudian mengembangkan pula daftar inkarnasinya, dari mulai yang kudus, yang bijak, sampai dengan dewa-dewa kecil. Daftar inkarnasi ini boleh jadi dikembangkan untuk menanggapi doktrin inkarnasi Waisnawa (para pemuja Wisnu). Meski demikian, inkarnasi Siwa dipandang kurang penting dibandingkan dengan inkarnasi Wisnu; inkarnasi Wisnu tetap dipegang sebagai obyek utama bagi peribadatan dan kebenaran. Bagi para pemuja Wisnu, doktrin inkarnasi ini umumnya dipandang sebagai cara untuk mengasimilasikan sekte-sekte yang ada ke dalam satu naungan, dengan klaim bahwa berbagai inkarnasi dewa-dewa itu tidak lebih dari inkarnasi Wisnu yang berbeda.

[8] Masih saat diwawancara oleh Majalah Time, Cameron menyebutnya sebagai teknologi manusia di masa depan yang mampu menyuntikkan kecerdasan manusia ke dalam tubuh biologis lain yang telah ditentukan.

[9] Gagasan avatar Cameron ini sepertinya ada kedekatan dengan ajaran dualisme Plato tentang tubuh dan jiwa. Menurut Plato, jiwa bersifat kekal, tidak pernah mati karena merupakan sesuatu yang adikodrati, berasal dari dunia ide. Meskipun jiwa dan tubuh terlihat bersatu, namun kenyataan dari keduanya harus dibedakan. Bagi Plato, jiwa itu terpenjara oleh tubuh. Oleh karena itu, jiwa harus terbebas dari penjara tubuh agar bisa memahami ide; dan cara untuk membebaskan jiwa adalah dengan kematian dan pengetahuan.

[10] Dalam konteks astronomi, Pandora adalah nama bulan (satelit alami) Saturnus, yang ditemukan pada tahun 1980. Dalam film Avatar, Pandora adalah salah satu bulan dari planet gas raksasa bernama Polythemis yang mengorbit di Alpha Centauri A. Pandora diceritakan mirip Bumi, disebut juga sebagai “Bulan Biru”. Pandora dihuni oleh masyarakat Na’vi. Lingkungan alam Pandora, jika melihat penggambaran dalam film ini, mirip seperti hutan hujan tropis di Bumi.

[11] Bhagawadgita, 4.7-8: “Manakala Dharma (kebenaran) melemah pada titik terendah dan Adharma (kejahatan) merajalela mencapai puncaknya, pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia, wahai keturunan Bharata (Arjuna), untuk menyelamatkan orang-orang saleh, membinasakan kejahatan (orang-orang jahat), dan menegakkan kembali kebenaran. Aku sendiri akan menjelma dari zaman ke zaman.”

[12] Sebelum kehadiran avatar Jake Sully, sudah ada avataravatar lain yang menjalin hubungan dengan Na’vi. Namun, tidak diceritakan bagaimana awal masyarakat Na’vi yang menjadi penghuni Pandora bisa menerima kehadiran (para) avatar yang digambarkan sebagai makhluk yang bersosok “seperti mereka” namun “bukan mereka” di tengah-tengah lingkungan mereka. Dalam relevansinya dengan aspek penceritaan, hal ini boleh dipandang sebagai satu kelemahan. Aspek kausalitas antarperistiwa pada akhirnya menjadi “bolong” dan (seolah-olah) terabaikan. Pengabaian terhadap aspek kausalitas antarperistiwa itu pun muncul pula pada beberapa bagian lain dalam cerita di film Avatar.

Di luar aspek penceritaan, dalam kaitannya dengan soal bagaimana masyarakat Na’vi bisa menerima keberadaan avatar manusia, memang bisa dijelaskan dengan perspektif lain. Di dalam film itu, Na’vi diceritakan memiliki keterhubungan mental secara langsung dengan sejumlah hewan yang hidup di Pandora, yang memungkinkan mereka bisa berinteraksi dan berkomunikasi langsung satu sama lain. Keterhubungan mental Na’vi ini rupanya mirip dengan mesin avatar buatan manusia. Bedanya, keterhubungan mental Na’vi dengan sejumlah hewan di Pandora adalah keterhubungan yang alami, organis-biologis, dan terberi (given), yang oleh karenanya lebih bersifat transenden; keterhubungan avatar manusia adalah keterhubungan buatan dan mekanis. Boleh jadi, adanya kemiripan itulah yang kemudian menjadi dasar asumsi, Na’vi bisa menerima keberadaan avatar manusia di tengah-tengah mereka tanpa perlu dijelaskan secara detil dalam cerita.

[13] Michelle M. Houle, Gods and Goddesses in Greek Mythology, 2001, hal. 52-57, terutama di bagian Pengantar. Dari tokoh Pandora ini kemudian muncul pula kisah “kotak Pandora”, kotak yang diberikan Zeus sebagai hadiah atas pernikahan Pandora dengan Epimetheus, saudara Prometheus. Prometheus sebelumnya sudah memperingatkan agar Pandora tidak pernah membuka kotak tersebut. Namun, didorong oleh keingintahuan yang sangat, Pandora akhirnya membuka kotak tersebut: dari kotak itu keluar berbagai macam keburukan (kejahatan, penyakit, penderitaan) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Pandora kemudian melihat ke dalam kotak dan menyadari masih ada satu hal yang tersisa: harapan. Tokoh Pandora ini pun kerap diperbandingan dengan tokoh biblikal Eva atau Hawa yang tersimpan dalam khasanah agama Nasrani dan Islam.

[14] Keberadaan Pohon Ibu yang menjaga dan menjadikan Pandora berada dalam satu sistem kesatuan organis yang hidup, boleh jadi diturunkan dari  Teori Gaia sebagaimana yang digagas oleh James Lovelock. Singkatnya, teori itu menyatakan bahwa biosfer dan komponen-komponen fisik Bumi (baik yang organik maupun yang nonorganik) saling menyatu untuk membentuk sistem interaksi yang menjaga keadaan iklim dan biogeokimia bumi agar senantiasa berada dalam keseimbangan. Secara umum, teori ini menganggap bumi sebagai suatu organisme tunggal, sebagai suatu sistem yang hidup dan memiliki aturan sendiri. Mengenai Teori Gaia ini, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di http://www.gaiatheory.org/.

[15] Kathleen N. Daly, Norse Mythology A to Z, 2004, hal. 111.

[16] Mitologi Dewi Sri pada dasarnya muncul, hidup, dan berkembang di kebudayaan masyarakat agraris yang bertanam  padi, karena Dewi Sri kerap disebut pula sebagai Dewi Padi. Dengan kisah yang (hampir) sama, mitologi Dewi Sri ini hidup di masyarakat Jawa dan Bali. Di Kamboja, sosok dengan peranan seperti Dewi Sri dikenal dengan sebutan Po Ino Nogar (Yang Teragung), dan terkadang diasosiasikan dengan Dewi Uma (Parwati) dalam Hinduisme; sedangkan di Thailan (Siam), Dewi Padi dikenal dengan nama Mae Posop.

[17] Jakob Sumarjo, Mitos Nyi Pohaci, dalam Khazanah, Pikiran Rakyat, 01 Mei 2005.

[18] Untuk pengertian arketip ini setidaknya bisa dibaca dalam Carl Gustav Jung, Memperkenalkan Psikologi Analitis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989; terutama di bagian Daftar Istilah (h.145—146).

_____________________________________

Daftar Pustaka

Buku & Artikel :

  • Daly, Kathleen N.. 2004. Norse Mythology A to Z (Revised Edition). New York: Facts On File.
  • Gambhirananda, Swami. Srimad Bhagavad Gita: English Translation of Sri Sankara-charya’s Sanskrit Commentary.
  • Houle, Michelle M.. 2001. Gods and Goddesses in Greek Mythology. Berkeley Heights: Enslow Publishers.
  • Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan Psikologi Analitis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Keegan, Rebecca Winters. 11 Januari 2007. Q&A with James Cameron. Time Magazine.
  • Klostermaier, Klaus K.. 2003. A Concise Encyclopedia of Hinduism. Oxford: Oneworld Publications.
  • Lochtefeld, James G.. 2002. The Illustrated Encyclopedia of Hinduism Vol.01. New York: The Rosen Publishing.
  • Sumarjo, Jakob. 01 Mei 2005. Mitos Nyi Pohaci. Khazanah, Pikiran Rakyat.

Situs Internet :

http://www.devata.org/2009/10/rice-goddesses-of-indonesia-cambodia-and-thailand/
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest-grossing_films
http://www.gaiatheory.org/
http://www.pikiran-rakyat.com/node/131125
http://www.time.com/time/arts/article/0,8599,1576622,00.html#ixzz0a69HUhNB

Film :

Cameron, James. 2009. Avatar. 20th Century Fox.

Related posts

Konsep Estetik dalam Kolase Gerak Yel Putu Wijaya

Kades Bagja

Para Perempuan yang Mengubur Dendam