Bahaya Bahasa

Alle Philosophie ist Sparchkritik ‘Setiap filsafat adalah kritik atas bahasa’
― Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein

Bahasa, sesuatu yang begitu dekat dengan keseharian manusia. Saking dekatnya, bahasa sepertinya sering dianggap sebagai sesuatu yang sederhana. Umumnya, kita nyaris menerima (keberadaan) bahasa begitu saja: seolah-olah hadir sebagai sesuatu yang terberikan secara otomatis dan tanpa persoalan. Sampai hari ini, misalnya, saya masih terkerut-merut dengan gejala penggunaan kata secara (terutama dalam tuturan lisan) yang begitu mencengangkan.

Kata secara, yang dalam bahasa Indonesia menempati posisi sebagai partikel,[1] tiba-tiba kini bisa bertransformasi sebagai verba, nomina, adjektiva, atau apapun yang dikehendakinya: suka-suka, sesuai kebutuhan, tanpa mengindahkan gramatika. Yang lebih mencengangkan, penggunaan kata secara yang suka-suka itu ternyata cukup bisa berterima di lingkungan (sebagian) para pengguna bahasa Indonesia.[2] Saya, misalnya, seolah-olah akan paham ketika ada seseorang yang berkata, [1] “Secara televisi, gitu lho, yang memopulerkannya.”

Memang tidak sedikit orang yang merutukinya, termasuk saya, ketika kata secara yang suka-suka itu begitu populer digunakan. Di antaranya bahkan ada yang sampai “resisten”, dan kata secara itu kemudian digunakan untuk (menjadi semacam) olok-olok. Di lain pihak, bagi mereka yang percaya akan proses, gejala penggunaan kata secara yang di luar kaidah tata bahasa itu mungkin akan dianggap sebagai dinamika bahasa: “Bahasa itu dinamis, terus berkembang”; bagi mereka yang meniliknya dari sudut pandang pragmatik,[3] penggunaan kata secara itu barangkali akan dipandang sebagai upaya untuk mendapatkan “daya retoris interpersoal”; sedangkan bagi yang percaya akan dosa, sepertinya mereka akan secara bulat menyatakan, adalah tidak berdosa jika kata secara digunakan tidak sesuai dengan gramatika: [2] “Secara itu cuman bahasa!”

Boleh jadi benar, dengan atau tanpa penempatan yang tepat, pada kasus penggunaan kata secara itu, proses komunikasi memang akan bisa berlangsung tanpa masalah.[4] Masalah, baru akan muncul pada konteks meta-komunikasinya.[5] Merleau-Ponty mengungkapkan, “Bahasa tidak hanya mengemukakan pikiran, tetapi juga membentuknya. Bahasa juga mengandung tindakan; karena dengan bahasa, penggunanya membentuk dan menyusun sesuatu dari kenyataan.” Jika pendapat Merleau-Ponty ini dipakai untuk memerikasa gejala penggunaan kata secara yang saya contohkan itu, pertanyaan kemudian, tindakan semacam apa yang terkandung di dalamnya? Kenyataan macam apa pula yang ingin dibentuk dan disusunnya? Saya boleh yakin, kata secara yang digunakan secara suka-suka ini pada awalnya bukanlah lahir dari sebuah produk tindakan sadar! Tegasnya, hal itu tidak muncul sebagai tindakan yang didasarkan atas pikiran dan tujuan tertentu.[6]

Jika hasil dari sebuah produk tindakan tidak sadar saja efeknya bisa begitu mencengangkan, bagaimana gerangan efek yang akan ditimbulkan oleh penggunaan bahasa yang memang sengaja dimunculkan sebagai sebuah tindakan sadar dan didasarkan atas pikiran atau tujuan-tujuan tertentu?

Sebagai contoh gampangan saja, mari kita periksa apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata-kata penataran, pembinaan, atau pembangunan, misalnya? Sebagian dari kita barangkali punya trauma tersendiri dengan kata-kata itu: pemaknaan dan pemahaman kata-kata itu menjadi sedemikian politis dan ideologis. Sadar atau tidak, kata-kata itu pun segera disingkirkan dan tidak digunakan. Kini, kita (seolah-olah) akan lebih nyaman jika menggunakan kata pelatihan atau lokakarya daripada penataran, misalnya; meskipun dalam tindak praktik pelaksanaannya, antara pelatihan dan penataran itu tidaklah jauh berbeda. Jika demikian adanya, bukankah penggantian dari kata penataran ke pelatihan itu hanya sekadar bentuk eufeumisme, seperti juga penjara yang kemudian diganti menjadi lembaga pemasyarakatan atau ditangkap yang kerap diganti dengan diamankan? Tindak berbahasa, dengan demikian, cenderung menjadi “tindakan manipulatif.”

Bagaimana pula persepsi kita untuk kata rezim, oknum, atau debat? Kata-kata itu (nyaris) selalu dipersepsi untuk menunjuk kenyataan yang negatif. Dulu, pernah ada perdebatan “serius” yang mempermasalahkan kata mana yang memiliki makna (dan juga rasa) positif, perempuan atau wanita? Menarik memang, namun perdebatan itu hanya terus berkutat di wilayah semantis, tidak sampai menyuruk pada kenyataan (apalagi menjadi tindakan) yang dirujuk oleh kata tersebut: hanya tetap berdiam sebagai “imaji”.[7]

Di lain soal, bahasa itu sendiri tidak pernah sanggup untuk menyatakan kenyataan yang ingin diartikulasikannya secara sempurna, selalu tidak pernah lengkap dan, lebih dari itu, penuh dengan reduksi. Pada konteks inilah tata bahasa dipandang menjadi penting, terutama sebagai ikhtiar agar muatan pikiran dan kenyataan yang ingin diartikulasikan, disusun, dan dibentuk lewat bahasa bisa diterima secara relatif lebih lengkap dan jelas.

Sialnya, keberadaan tata bahasa ternyata tidak serta-merta bisa menyelasaikan persoalan. Bahkan, pada tindak berbahasa dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya tidak bisa “diterima” secara harfiah sebagai makna tunggal: selalu penuh asumsi, persepsi, dan tafsir. Dalam hal ini Stanley Fish percaya, semua ujaran dipahami dengan cara menyandarkan pada  “informasi latar yang saling dipertukarkan.” Sayangnya, saling bertukar informasi latar ini jarang dilakukan. Dalam konteks percakapan sehari-hari, kita nyaris selalu mengasumsikan, lawan bicara kita akan bisa memahami percakapan dengan segera. Padahal, boleh jadi, di dalam percakapan sehari-hari yang sederhana sekalipun sesungguhnya ada begitu banyak jebakan yang menggelincirkan dan penuh bahaya.

Hal yang paling berbahaya dari bahasa adalah tersimpannya kuasa pengetahuan. Kuasa pengetahuan ada pada bahasa. Siapa yang menguasai bahasa, ia akan menguasai pengetahuan; sementara pengetahuan itu sendiri sangat dekat dengan “kuasa kebenaran”. Klaim-klaim kebenaran pun akan diartikulasikan dengan bahasa. Alangkah “berbahaya” sebenarnya ketika kita berhadapan dengan orang yang menguasai hal ini. Alangkah akan lebih berbahaya lagi jika orang-orang seperti ini dekat dengan “kekuasaan”, atau bahkan orang itu memikili “kuasa atas masyarakat”. Contoh yang paling konkret adalah Soeharto, yang sepertinya telah dengan begitu cerdik memanfaatkan bahasa dan juga para aparatus pendukungnya untuk membentuk dan menyusun kenyataan atas Indonesia semasa rezimnya. Warisannya, bahkan masih bertebaran sampai sekarang.

* * *

____________________________________________________

[1] Kata yang biasanya tidak dapat diderivasikan atau diinfleksikan, mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal, termasuk di dalamnya artikel, preposisi, konjungsi, dan interjeksi.

[2] Gejala berbahasa (yang ngawur) semacam ini sebenarnya bukanlah barang baru dalam perjalanan dan perkembangan bahasa Indonesia. Gejala penggunaan kata secara ini mirip dengan gejala penggunaan kata daripada yang dulu menjadi ciri khas bahasanya Soeharto. Secara gelang-gemilang, kata daripada yang tidak pada tempatnya itu pun pernah menjadi begitu populer, terutama di kalangan para pejabat publik. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia nyaris tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa “menghentikannya.” Kata daripada itu pun kemudian sering digunakan (dimanfaatkan) sebagai olok-olok, terutama oleh mereka yang anti-Soeharto.

[3] Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Salah satu postulat dalam pragmatik umum adalah “Kaidah-kaidah tata bahasa pada dasarnya bersifat konvensional; prinsip-prinsip pragmatik umum pada dasarnya bersifat nonkonvensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.”

[4] Pada kasus penggunaan kata secara [1], agar saya seolah-olah paham, saya akan gampang saja menyikapi kata secara itu hanya sebagai sisipan atau sampiran (insert) yang sama sekali tidak penting. Namun, saya agaknya akan memberi penyikapan yang berbeda untuk penggunaan kata secara pada kasus [2], karena maknanya yang lebih bersifat taksa.

[5] Bertrand Russell, dalam pengantarnya untuk Tractatus Logico-Philosophicus, mengungkapkan beberapa problem yang muncul dalam bahasa: (1) Problem di wilayah psikologi: apa yang sesungguhnya terjadi dalam pikiran ketika kita menggunakan bahasa yang berkaitan dengan suatu makna; (2) Problem epistimologi: hubungan antara pikiran, kata, kalimat, dan makna yang dimaksud; (3) Problem penggunaan kalimat agar kalimat menyatakan kebenaran (truth), bukan kesalahan (falsehood); (4). Problem logika: apakah harus ada hubungan antara suatu fakta (seperti suatu kalimat) dengan fakta yang lain sehingga yang pertama dapat menjadi suatu simbol dari fakta yang lainnya.

[6] Ketika kata secara itu hanya muncul sebagai sisipan yang tidak penting, apakah memungkinkan untuk disebut, kenyataan yang ingin dibentuk dan disusun oleh para penggunanya adalah kenyaatan sisipan yang tidak penting pula? Atau, jangan-jangan, gejala itu merupakan cerminan dari para penggunanya yang menunjukkan bahwa kenyataan mereka dipenuhi dengan kenyataan sisipan yang tidak penting? Bandingkan dengan gejala bahasa dalam teks pesan singkat. Berbanding terbalik dengan penggunaan kata secara yang diobral tidak pada tempatnya, pada teks pesan singkat, dengan prinsip “ekonomisasi”, kata-kata nyaris selalu disingkat dan seringkali menghilangkan berbagai elemen penting bahasa. Atau, perhatikan juga bagaimana fenomena cara tulis “blasteran” yang mENcaMPurAduKkan hUrUF KapiTAl dAN HuRUf kECil dAlaM sAtU KatA, seperti yang belakangan dikiblati oleh sebagian remaja.

[7] Dalam hal ini, perlu dibedakan antara bahasa sebagai bahasa itu sendiri, dengan tindak berbahasa. Bahasa bisa dipandang netral pada dirinya sendiri; namun, akan serta-merta berubah posisinya ketika bahasa itu digunakan dalam sebuah tindak berbahasa.

Related posts

Keledai