Memandang Arti Penting Sejarah

Tidak bisa dipungkiri, khazanah intelektual yang dihasilkan oleh para cendekiawan Muslim (klasik) telah mewariskan sejumlah pemikiran besar yang kemudian berpengaruh pada perkembangan dunia sains modern dewasa ini. Dunia sains modern sendiri memang lebih didominasi Barat. Namun, eksistensi para cendekiawan Muslim (klasik) tetap harus dipandang menempati posisi penting ketika pemikiran-pemikirannya mulai banyak diterjemahkan, dipelajari, dan diadopsi para intelektual Barat, terutama di rentang abad-10 sampai dengan abad-13—yang pada akhirnya tercatat sebagai lonceng awal kebangkitan dunia Barat dari “Abad Kegelapan” menuju Renaisance. Al-Kindi (w. 873), Al-Farabi (w. 950), Ibn Sina (w. 1037), Al-Ghazali (w. 1111), Ibn Rusyd (w. 1198), sekadar menyebut beberapa di antaranya, adalah sejumlah ilmuwan dan filosof besar Muslim yang karya-karyanya banyak diterjemahkan dan dipelajari, dan menjadi terkenal di dunia Barat dengan nama-namanya yang kemudian dilatinkan. Demikian pula halnya dengan Ibn Khaldun (1332—1406). Sebagaimana para cendekiawan Muslim pendahulunya, pemikiran-pemikiran yang ditorehkan Ibn Khaldun tidak kurang dikagumi pula oleh dunia Barat.

Buku yang bertitel Muqaddimah ini adalah karya terpenting yang diwariskannya. Hal-hal yang berkenaan dengan ilmu sejarah merupakan inti utama dari pemikiran Ibn Khaldun yang diketengahkan di dalam buku yang juga disebutnya sebagai Kitab al-’Ibar ini. Memang, tidak diragukan, adalah sudah sepantasnya jika sejarah harus dipandang sebagai sebuah ilmu yang sangat penting. Bagi Ibn Khladun sendiri, sejarah pada hakikatnya adalah catatan tentang masyarakat umat manusia, bahkan identik dengan peradaban dunia. Lebih dari itu, ilmu sejarah ini pun pada akhirnya akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang kemudian ingin mempraktikannya dalam persoalan agama dan dunia.

Dibuka dengan pengantar yang menguraikan manfaat besar historiografi (ilmu sejarah), pengertian tentang segala bentuk metode historiografi, dan secara selayang pandang mengemukakan pula sejumlah kesalahan yang dilakukan para sejarahwan pendahulunya, Ibn Khaldun kemudian mulai memaparkan hal-ihwal yang berkenaan dengan peradaban (‘umran). Dalam Kitab al-’Ibar buku kesatu ini, uraian mengenai peradaban dan ciri-cirinya yang hakiki memang menjadi pokok bahasan utama Ibn Khaldun. Lewat tinjauan historiografis, hal-hal yang berkaitan dengan peradaban, seperti kekuasaan, pemerintahan, mata pencaharian, keahlian-keahlian, penghidupan, dan ilmu pengetahuan, dengan segala sebab dan alasannya, dipaparkannya secara gamblang dan cukup mendetil dalam enam bab pembahasan.

Pandangan untuk senantiasa berusaha menegakkan dan menjaga objektivitas—sebagaimana ciri dari semangat ilmiah dalam tradisi intelektual Islam yang bersumber pada kesadaran religius-tauhid—tampak pula pada Ibn Khaldun dalam bukunya ini. Selain argumentatif ketika memaparkan sejumlah pemikiran dan pandangannya, ia pun sekaligus mencoba untuk mengkritisi (dan mengoreksi) para cendekiawan pendahulunya. Satu hal yang menarik untuk dicermati, di dalam menyajikan pembahasannya itu pun Ibn Khaldun menggunakan metodologi dan sistematika yang cukup tegas. Hal ini tampaknya selaras dengan keyakinan Ibn Khaldun sendiri yang berpendapat bahwa sejarah adalah satu disiplin ilmu yang memiliki metode (mahzab) yang mantap.

Dalam karyanya ini, akan cukup jelas bisa kita simak jika Ibn Khaldun tidak ingin terjebak untuk hanya menyajikan sejarah dalam bentuk seadanya; tanpa materi substantif yang pada akhirnya akan bisa menyebabkan (peristiwa-peristiwa) sejarah dirembesi kebohongan. Ibn Khaldun sangat menyadari, selain membutuhkan perhitungan yang tepat dan ketekunan, penulisan sejarah pun memerlukan sumber beragam dan pengetahuan yang bermacam-macam. “Pada hakikatnya, di dalam ilmu sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa” (h. 3). Apabila catatan sejarah hanya didasarkan pada bentuk nukilan, yang mengabaikan pengetahuan yang jelas tentang prinsip-prinsip yang ditarik pada kebiasaan, tentang fakta-fakta politik yang fundamental, tentang watak peradaban itu sendiri, dan tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan sosial manusia, menurut Ibn Khaldun, pasti akan ditemukan batu penghalang, ketergelinciran, dan kekhilafan di dalam berita sejarah tersebut. Demikian pula, kekhilafan itu pun akan terjadi jika materi sejarah tidak diperbandingkan, baik antara yang gaib dengan yang nyata, maupun antara yang baru dengan yang kuno.

Ibn Khaldun mencermati, para sejarahwan pendahulunya seringkali mengabaikan hal-hal tersebut. Selain itu, mereka pun kerap tidak menyelidiki berita sejarah yang dituliskannya dengan ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan tentang watak alam semesta, perenungan, dan dengan pengetahuan yang mendalam tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Hal-hal yang berkenaan dengan filsafat itu pun perlu untuk diperhatikan karena, bagi Ibn Khaldun, akar dari sejarah itu sendiri adalah filsafat, bahkan patut di-anggap sebagai salah satu cabang filsafat.

Hal lain yang kiranya menarik untuk disimak, dengan bekal pengetahuan serta wawasan yang luas dan beragam, sebagaimana juga para cendekiawan Muslim pendahulunya, kelebihan yang dimiliki Ibn Khaldun pun adalah kemampuannya untuk meluaskan wilayah cakupan pembahasan, tanpa menjadikan paparannya itu bias dan rancu . Selain sejarah, ilmu sosiologi, antropologi, filsafat, dan agama, adalah beberapa di antara sejumlah mata rantai bidang keilmuan yang sekaligus disentuh Ibn Khaldun untuk mengedepankan pembahasan dan pemikirannya. Memang, Ibn Khaldun pun tidak luput dari sejumlah keterbatasan dan kesalahan. Misalnya saja, Ibn Khaldun beberapa kali merujuk pendapat Ptolomeous yang membagi wilayah bumi menjadi tujuh daerah iklim, yang belakangan kemudian diketahui hal itu teranglah salah. Dalam catatan Charles Issawi (fn. h.90), ini menandakan bahwa pengetahuan Ibn Khaldun tentang ilmu bumi tidaklah lebih baik dari para sarjana yang sezaman dengannya.

Namun demikian, tetap harus bisa diakui, dengan karyanya ini Ibn Khaldun telah mampu mewariskan berbagai gagasan pemikiran yang kiranya tidaklah terlalu berlebihan kalaupun harus disebut sangat megesankan. Di tangannya, sejarah bukan hanya sekadar rekaman dari serangkaian kumpulan peristiwa; namun, dengan membongkar konstelasinya hingga bisa ditemukan hal-hal yang tersembunyi di balik masyarakat dan perabadan umat manusia, sejarah pun pada akhirnya bisa menjelma menjadi sebuah dunia yang kompleks dan komprehensif. Dengan membaca secara langsung karyanya ini, kita mungkin akan bisa memahami alasan, mengapa Ibn Khaldun menjadi layak untuk kemudian dipandang (secara universal) sebagai pelopor pendekatan sosiologis dalam teori sejarah.

Memang, buku Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang diterjemahkan Ahmadie Thoha ini adalah cetakan yang kedua (cetakan pertama, 1986). Namun, apa yang diketengahkan buku ini rasa-rasanya akan tetap aktual, bahkan penting untuk dibicarakan dan dicermati. Terlebih dalam relevansinya dengan realitas di alam keindonesiaan kita hari ini, yang tampaknya masih terus dilanda kegamangan ketika kita harus menatap dan mengenali sejarah kita sendiri, yang memang penuh coreng dan begitu carut-marut. Setidaknya, lewat buku ini kita akan senantiasa diingatkan kembali pada arti penting sejarah, dan mungkin sekaligus bisa semakin tersadarkan bahwa sejarah (suatu bangsa) bukan hanya milik segelintir orang yang berkuasa.

* * *

Related posts

Mengurut Jejak Pemikiran Marx

Sihir Absurditas Camus