Meja Makan Kita

Picture 248

Tokoh  :

  1. seseorang bernama Brahma atau bisa siapa saja
  2. seseorang bernama Syiwa atau bisa siapa saja
  3. seseorang bernama Wisnu atau bisa siapa saja
  4. seorang pelayan bernama Bilqis atau bisa siapa saja

** 

Sebuah meja makan lengkap dengan segala hidangannya yang siap santap. Ada tiga buah kursi yang melengkapi meja makan itu. Masing-masing milik Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Di antara mereka tersimpan pula sejumlah benda atau apapun namanya, yang dipandang memiliki nilai tertentu bagi ketiga tokoh itu, yang sekaligus juga menjadi penanda bagi kondisi psiko-emosi dan karakter dari masing-masing peran yang dimainkan.

**

Semua adegan yang berlangsung dalam lakon ini berawal dari meja makan, dan―entah apakah adegan demi adegan atau peristiwa demi peristiwa yang kemudian berlangsung itu berkorelasi dengan meja makan atau tidak―akan selalu ditarik untuk kembali ke meja makan.

**

Adegan diawali dengan nyala lilin. Brahma, Wisnu, dan Syiwa berada dalam posisi menghadapi meja makan. Wisnu dan Syiwa tengah menikmati santapan pembukanya. Wisnu tampak menunjukkan cara makan yang begitu hati-hati, selalu ingin terlihat bersih. Di setiap kali habis menyuap, ia selalu akan menarik secarik tisue, mengelap mulutnya, untuk seterusnya membuang tisue itu ke tempat sampah yang tak jauh dari kursinya. Begitu seterusnya. Berbeda halnya dengan Syiwa yang justru tak acuh saja. Di sela menyantap hidangannya, ia hanya bersibuk sendiri menggeluti alat-alat pertukangannya: sesekali bahkan ia mengasah pisau makan miliknya, juga garpu, atau mengampelas sendok-sendok makannya itu. Sedangkan Brahma ―meski ia pun seolah-olah tengah menyantap hidangannya, dengan perlengkapan makan di tangan dan lap di pangkuan―berada dalam posisi diam di kursi meja makan itu. Brahma sama sekali tidak bergerak: mungkin ia sedang mati.

Waktu lewat.

Muncul Bilqis. Ia datang membereskan hidangan pembuka, untuk kemudian menyajikan menu utama. Ia pun kembali menata meja makan itu: menuangkan minuman, mengganti perlengkapan makan Brahma: menyelipkan pisau dan garpu ke tangannya, dsb..

Wisnu            Nah, apa menu kita malam ini, Bilqis?

Bilqis            (Tidak terlalu peduli) Kelihatannya, steak.

Wisnu            Steak?

Bilqis            Steak bumbu ceri dengan jamur kuping rebus.

Syiwa            (Mengambil seiris steak yang disodorkan Bilqis) Tapi pisaunya mungkin kurang tajam. Irisannya tidak estetis. (Ia lalu menyimpan potongan steak yang diangkatnya itu ke piring Brahma) Makanlah. Semoga berbahagia.

Begitu selesai menata meja Bilqis langsung keluar. Wisnu dan Syiwa mulai dengan santapan utamanya.

Waktu lewat.

Wisnu            Tampaknya kau sedang berbahagia, Syiwa?

Syiwa            (Mengangkat gelas) Untuk kematian Brahma!

Wisnu            Untuk Brahma!

Waktu lewat.

Wisnu            Bagaimana piknikmu, Syiwa?

Syiwa            Sayang, gergajiku tak terbawa. Seharusnya kau pun tanya Brahma.

Wisnu            Paling-paling buku. Tapi― huh!, piknikku sendiri hanya dipenuhi sampah dan debu.

Syiwa            (Tertawa) Maka jadilah sampah dan debu. Biarkan sekali-kali mereka mencintaimu.

Waktu lewat.

Dering telepon, beberapa kali. Tak berapa lama kemudian Bilqis muncul.

Bilqis            Untuk Tuan Brahma.

Syiwa            Giliranmu. Ambillah.

Wisnu            Ah, katakan saja Tuan Brahma sedang mati. Tidak bisa diganggu. Catat saja kalau ada pesan.

Bilqis keluar, sebelum kemudian kembali lagi dengan secarik kertas yang disodorkan kepada Brahma. Wisnu segera mengambilnya.

Wisnu            Dari Anubis (kepada Brahma). Dia sangat berharap, kau akan bisa kembali seperti sedia kala. Lain kali, katanya ajak-ajak dia kalau mau mati. Jangan egois.

Syiwa            (Mengangkat gelas seraya tertawa) Bagi Saudaraku Brahma yang tercinta!

Wisnu            (Enggan) Yang tercinta—

Waktu lewat.

(Wisnu tampak cemas ketika menetes setitik noda di bajunya. Dengan segala cara ia berusaha membersihkannya. Sementara Syiwa kembali mengasah pisau makannya. Setelah selesai, ia pun lantas mengasahkan pisau makan Brahma).

Syiwa            Jangan sampai tidak estetis lagi irisannya. (Kepada Wisnu) Pisaumu perlu kuasahkan juga? Garpunya barangkali?

Wisnu            Brahma punya kesopanan paling mengagumkan di meja makan!

Syiwa            Kesopanan? Apa kau sendiri pernah mengampelasnya?

Bilqis muncul. Ia menuang kembali minuman pada gelas mereka.

Bilqis            Seharusnya Tuan Brahma tidak terlalu lama mati.

Wisnu            Dan seharusnya kau berpakaian lebih tebal, Bilqis.

Bilqis keluar. Syiwa lekat memperhatikannya.

Syiwa            Giliran siapa?

Wisnu            Seharusnya, Brahma. Tapi―

Syiwa            Ya― ya― (Lalu gelak tertawa)

Wisnu            Sungguh?

Syiwa            Seperti katamu, aku sedang berbahagia.

Wisnu            Tapi sepertinya kebahagiaanmu sangat lain. Apa sebenarnya kau takut mati, Syiwa?

Syiwa            Mati adalah manusiawi. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kelahiran justru lebih mengerikan.

Wisnu            Kata-kata Brahma. Kau selalu berdiri di belakang Brahma!

Syiwa            Lalu apakah aku harus mengutipkan kata-katamu: ‘kebersihan adalah pangkal kesucian!’ Cuah!

Wisnu            Ah! Ruangan ini memang perlu bedak, parfum, pewangi!

Syiwa            Justru perlu jendela baru! Besok akan kubuatkan di sini! Di sini! Juga meja makan ini!

Waktu lewat.

Bilqis muncul. Membereskan meja makan.

Wisnu            Puding, Bilqis?

Syiwa            Naga-naganya, koktail.

Wisnu            Tapi lebih kontekstual puding.

Syiwa            Tapi dari cara-cara Bilqis membereskan piring, jelas koktail.

Wisnu            Dari aromanya aku mencium puding.

Syiwa            Penciuman macam apa itu? Justru bau koktail dalam hidungku.

Wisnu            Apa yang bisa diharapkan dari hidung seseorang yang selalu bergaul dengan sampah dan debu?

Syiwa            Hey, tidakkah kau ingat betapa Brahma selalu menghargaiku sebagai seorang tukang?

Bilqis            (Sambil berlalu) Seandainya Tuan Brahma tidak terlalu lama mati…

Syiwa            Seandainya Brahma bisa bicara, dia pasti akan memilih koktail untuk kita.

Wisnu            Jangan ganggu Brahma. Dia sedang mati. Kita harus menghargai upayanya untuk menuju hidup yang sempurna.

Syiwa            Maka jangan sia-siakan kematiannya. Penghargaan kita adalah koktail.

Wisnu            Kau selalu berlindung di ketiak Brahma! Pudingnya, Bilqis!

Syiwa            Cemburu tanda tak mampu. Sajikan koktailnya, Bilqis!

Wisnu            Mana pudingnya, Bilqis!

Syiwa            Kau tahu Brahma akan memilih koktail, Bilqis!

Wisnu            Kau tahu puding itu apa? Puding adalah campuran yang begitu sempurna antara susu—

Syiwa            Lantas kau anggap apa koktail?

Wisnu            Apa itu koktail?

Syiwa            Jangan kau hinakan pilihan Brahma!

Wisnu            (Tertawa) Justru sebaliknya. (Berjalan ke arah buku-buku) Nah, dalam kitabnya ini Brahma justru menulis bahwa pada malam-malam yang penuh dengan cuaca seperti ini kita harus memilih makanan penutup P-U-D-I-N-G: puding! Nah, lihat! (Mendekati Syiwa seraya menyodorkan buku yang dibawanya, sebelum kemudian menutup buku itu dengan segera)

Syiwa            (Penasaran) Apa benar, Wisnu? Kau baca halaman berapa? Pada bab mana?

Wisnu            Carilah! Pokoknya tadi tertulis puding. Titik.

Syiwa            (Setelah sekian lama mencari) Ah, pokoknya koktail. Sekali koktail tetap koktail.

Wisnu            Puding!

Syiwa            Koktail!

Wisnu            Puding!

Syiwa            Koktail!

Perdebatan semakin sengit.

Lampu, fade out.

**

Panggung temaram. Masih di meja makan yang sama. Wisnu kini posisinya sama dengan Brahma, diam tak bergerak di kursi meja makan itu. Mungkin mereka sedang mati. Syiwa tampak berada di antara benda-benda pertukangan miliknya.

Waktu lewat.

Bilqis muncul, mulai menata meja untuk acara makan Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Begitu selesai, ia langsung keluar.

Waktu lewat.

Syiwa mulai menyantap hidangan pembuka.

Waktu lewat.

Syiwa            Bagaimana piknikmu, Wisnu? Apa kau masih digauli sampah dan debu? Ya, Brahma, pasti dengan buku. Selalu. Sedang piknikku sendiri, sayang, kapakku tak terbawa.

Waktu lewat.

Bilqis muncul. Menuang minuman.

Syiwa            Tolong sajikan puding untuk makanan penutupnya, Bilqis.

Tanpa komentar, Bilqis keluar.

Lampu, fade out. Hanya tinggal nyala lilin itu saja.

***

Bandung, pajajaran, 19 Agustus 1999

 


*) Naskah lakon ini ditulis untuk keperluan pementasan Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Unpad pada Selekda Peksiminas IV Jawa Barat, 9 September 1999 di Gedung Dewi Asri STSI Bandung. Disunting oleh Moh. Syafari Firdaus (sutradara) dari ide-ide yang muncul selama proses latihan dan sejumlah diskusi dengan Ramdhan Taufik (penata peran), Mujib Prayitno (scripter), Fajar Syudrajat (Wisnu), Budi Hananto (Syiwa), Dody Yuniar (Brahma), Hana Solonia (Bilqis), dan sejumlah kawan GSSTF lainnya yang terlibat dalam rencana pementasan.

Related posts

Konsep Estetik dalam Kolase Gerak Yel Putu Wijaya

Tentang “Lawan Catur”

Dari Nonsensitas dan Kekenesan Sebuah Proses