Paranoia Masa Lalu atau “Lekra-Phobia”?

Garis politis dan ideologis yang memisahkan seniman Lekra dengan seniman Manikebu sebagaimana yang mencuat menjadi konfrontasi terbuka di era 60-an, saya akan anggap, telah kita ketahui bersama. Pertikaian yang terjadi di antara mereka, yang masing-masing memang berusaha untuk mengusung dan memperjuangkan kepentingan tertentu, bukan hanya berlangsung di tingkat mental-kognitif, ide, ataupun problem konseptual semata. Di tataran praksis dan paktisnya masing-masing harus sengit bertarung pula. Syahdan, mereka bahkan sampai harus melibatkan konflik secara fisikal.

Getar pertikaian itu tampaknya masih harus membawa ekses yang tetap menghebohkan di kemudian hari. Eksistensi Lekra yang pada zaman rezim Orde Lama memang seperti mendapat legitimasi state, sempat mendapat angin ketika Manikebu dilarang, dan bisa dengan cukup leluasa memukul mundur “lawan-lawan politiknya”. Hanya saja, setelah PKI dinistakan oleh rezim Orde Baru, giliran seniman-seniman Lekra yang harus menerima “getah”nya: diganjar hukum, baik secara individual maupun dalam lingkup sosial. Bahkan hukuman ini pun berlaku pula untuk karya-karya yang dihasilkannya. Di zaman rezim Orde Baru, dengan tanpa terlalu banyak cakap, karya-karya mereka adalah karya-karya  yang haram dan terlarang: patut diberangus, tak diperkenankan hidup, tanpa kecuali. Persetan dengan isi dan esensi dari karya-karya itu sendiri.

Dari sederet panjang karya seniman Lekra yang harus mengalami nasib seperti itu, barangkali yang paling banyak adalah karya-karya Pramudya Ananta Toer. Memang boleh dibilang cukup tragis nasib yang harus dialami oleh karya-karya Pram itu. Sementara sejumlah kritikus di belahan dunia lain menilai sebagian besar karya-karya Pram adalah karya-karya yang sungguh bermutu, di negerinya sendiri karya-karya Pram itu justru tidak bisa ternikmati, terkubur hidup-hidup: subversif! Bahkan, Pram sendiri seolah kian terasing–atau diasingkan–dari wilayahnya sebagai seorang sastrawan yang semestinya dapat berdiri sejajar di tengah realitas dan kapasitasnya sebagai seorang sastrawan pula. Boleh kita ingat kembali bagaimana sengitnya sejumlah sastrawan/seniman kita ketika Pram memperoleh Hadiah Magsaysay pada tahun 1995. Penghargaan ini pun pada akhirnya harus melebar menjadi “kontroversi politis” hanya karena mereka menganggap Pram tetap telah melakukan “kesalahan di masa lalu” yang bagi sebagian sastrawan kita itu tetap tak termaafkan.

Dalam kaitannya dengan pemberangusan terhadap karya-karya seniman Lekra itu, bukankah idealnya harus ada pengujian dan pengkajian terlebih dahulu terhadap karya-karya mereka, sebelum “negara” memukul rata untuk kemudian melakukan tindak pemberangusan? Paling tidak, yang harus bisa dibuktikan adalah, bilakah karya-karya tersebut memang mengedepankan “ideologi subversif” (saya sendiri sampai saat ini masih tidak paham, apa yang dimaksud dengan “ideologi-subversif” tersebut) yang, konon, eksesnya akan bisa mengguncang stabilitas nasional?

Jika menyimak karya-karya Pram yang terlarang itu, misalnya, sebagian besar malah justru tidak menampakkan dunia subversif sebagaimana yang selama ini begitu ditakutkan. Tetralogi Pulau Buru agaknya tidak terlalu pantas untuk dijegal kejaksaan. Jika yang dicemaskannya adalah paham “realisme sosial” sebagaimana yang syahdan diusung oleh Marxisme-Leninisme, di keempat karya itu nyaris tidak terbaca kehadiran indeks-indeks yang menunjuk ke arah itu. Begitu pula halnya dengan roman Di Tepi Kali Bekasi atau Gadis Pantai, misalnya, yang turut kena libas pula. Hanya memang, ada juga beberapa karya Pram yang tampak ingin menonjolkan kepentingan politik yang dikiblatinya. Pada novel-drama Sekali Peristiwa di Banten Selatan, meskipun yang diceritakannya itu ihwal pemberontakan yang bisa ditumpas dengan adanya persatuan antara TNI dengan rakyat, namun di sana memang masih tersisip gagasan “rakyat/petani harus dipersenjatai” sebagaimana yang tengah diperjuangkan PKI pada saat itu. Karya Pram yang terkesan “partisan” pun tampak pula pada Nyanyi Sunyi Seorang Bisu; sebuah karya yang baik secara estetis maupun tematis kiranya boleh dinilai tidak terlalu berhasil jika dibandingkan dengan karya-karya Pram yang lainnya.

Selain itu, tentu saja tidaklah semua karya-karya seniman Lekra mengedepankan “realisme sosial”, terlebih yang secara tegas bersandar pada ideologi komunis. Selain karya-karya Pram, bisa kita baca pula pada karya puisi Sitor Situmorang, karya drama Utuy Tatang Sontani, misalnya. Mereguk dan menikmati “pengalaman kemanusiaan” yang tertuang pada karya-karya tersebut, mungkin akan lebih punya arti; daripada harus menjejalinya dengan prasangka-prasangka politis-ideologis hanya karena mereka pernah bernaung di bawah payung Lekra yang diasuh PKI.

* *

Pasang surutnya sejumlah persoalan yang kini tengah berlangsung di negeri ini, secara langsung atau tidak, memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konstelasi sejarah masa lalu Indonesia. Era reformasi yang kini tengah digulirkan, diharapkan akan bisa bergerak menuju arah perbaikan di segala hal. Transparansi dan keterbukaan yang dikedepankannya, telah memberi kesempatan yang cukup lebar untuk membuka kembali sejumlah hal yang pada masa-masa sebelumnya begitu ditabukan. Tidak terkecuali pula dalam kesusastraan, yang dalam hal ini adalah kemunculan karya-karya dari sejumlah pengarang yang dulu pernah berafiliasi dengan Lekra/PKI.

Mengingat sepak terjang yang pernah dilakukan Lekra tempo hari, kemunculan fenomena kembalinya sejumlah pengarang eks-Lekra dengan karya-karyanya itu agaknya telah mengundang sejumlah kekhawatiran tertentu dari sejumlah pihak. Pada satu sisi mungkin boleh dipandang wajar jika kemudian muncul pertanyaan: “Apakah mereka akan kembali agitatif dan agresif?”, sebagaimana yang sempat dilontarkan oleh H. Usep Romli HM (Era Reformasi: Kebangkitan Para Pengarang Lekra?, Pikiran Rakyat, 6/2/2000; tengok juga tulisannya, “Perang Sastra” Penyair Muslim—Lekra/PKI, Galamedia, 22/4/2000). Usep mungkin cukup mempunyai alasan untuk merasa cemas seperti itu karena, konon, ia tampaknya pernah berhadapan secara langsung dengan mereka di zamannya. Akan tetapi, pada sisi lain, dengan membaca paparan yang diketengahkan Usep di kedua tulisannya itu, saya sendiri cenderung memandang bahwa kecemasan Usep itu agaknya terlalu berlebihan.

Di dalam tulisannya itu, Usep tampak terkesan terlalu menyederhanakan persoalan. Mungkin benar, ketika rezim Orde Baru runtuh berkeping-keping akibat kefatalan yang dibuatnya, para pengarang eks-Lekra yang selama rezim Orde Baru berkuasa dinistakan, kini mereka mencoba untuk melakukan semacam “pembenaran” terhadap apa yang telah dilakukannya. Namun, pernyataan Usep bahwa bagi orang-orang yang tidak mengalami hiruk-pikuk politik dan kebudayaan periode 1960-1965, “pembenaran” dalam karya-karya pengarang Lekra itu akan menjadi sebuah “fatwa” yang semakin mempersalahkan rezim Orde Baru, kiranya terlalu gegagah dan perlu diperiksa ulang. Tuduhan a priori semacam ini sungguh celaka karena secara langsung telah menganggap bahwa generasi muda kita hari ini seolah-olah berpikiran cupet, dianggap tidak paham, dan tidak mengetahui sedikitpun konstelasi sejarah bangsanya.

Bahwasannya, keruntuhan rezim Orde Baru ditepukriangi oleh nyaris seluruh masyarakat Indonesia, adalah memang sudah sepantasnya. Keroposnya pondasi yang dibangunnya sendiri yang telah memungkinkan rezim ini secara perlahan tapi pasti akan tumbang, tidak jauh berbeda halnya seperti keambrukan rezim Orde Lama; bahwa, rezim Orde Baru korup, tiranik, penuh dengan KKN adalah sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun untuk sampai pada penilaian, PKI dan Lekra adalah juga sebagai korban dari pemerintahan Orba yang kemudian terbukti membawa kehancuran moral dan meterial seluruh bangsa dan negara, tampaknya masih harus dipersoalkan. Saya cukup yakin, masih terlalu banyak anak-anak muda kita yang menjauhkan sederhananya kesimpulan semacam itu. Terlebih lagi jika hal itu hanya ditarik dalam kerangka persepsi dan penafsiran yang hanya bersandar pada karya-karya sastra hasil buah tangan dari para pengarang eks-Lekra. Sementara kalaupun kemudian dikomparasikan, bukanlah ada begitu banyak karya-karya sastra yang notabene bukanlah produk pengarang eks-Lekra yang juga berbicara, mengkritisi, dan bahkan tidak sedikit yang menghujat ihwal kebobrokan rezim Orde Baru tersebut?

Dengan kata lain, agaknya kita tidak perlu terus dihantui dengan rasa cemas, paranoid, terlebih mengeramnya sebagai phobia terhadap hal itu. Identifikasi Lekra tampaknya sudah harus dihapus dari wacana kebudayaan kita hari ini, dan adalah kecil kemungkinannya lembaga yang diasuh PKI itu untuk bisa dibangun lagi, apalagi ideologi komunis, Marxis-Leninis, sudah terbukti ambruk pula. Justru dengan kerapnya kita mengidentifikasikan Lekra, malah boleh jadi sebenarnya kita sendiri yang tengah membesarkan dan menumbuhkembangkannya: menjelmakannya sebagai hantu yang sebenarnya tidak ada, tapi begitu menakutkan.

Bagaimanapun, kehadiran karya-karya dari para pengarang eks-Lekra pada saat ini harus tetap bisa disikapi secara arif. Dalam penilaian positif, keberadaannya justru akan bisa memberi warna baru bagi khazanah kesusastraan kita, bahkan mungkin bisa menyodorkan “dialektika pendewasaan” yang akan bisa lebih mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan mendiskriminasikan atau menilainya dengan mistifikasi ke arah tendensi ideologis, malah akan sangat memungkinkan terjadinya babak konfrontasi baru yang justru tidak diharapkan.

Sementara itu, kodrat sastra yang menyediakan dirinya untuk siap ditanggapi secara multitafsir, pada kenyataannya telah memberi ruang dan keleluasaan gerak bagi para pembacanya untuk membuka dan memasukinya dari berbagai jendela. Di sini kita mesti juga menaruh keyakinan bahwa para pembaca sastra kita, terutama anak-anak muda, bukanlah orang-orang tolol yang hanya tergiring untuk menilai bobroknya kekinian bangsa ini secara “hitam putih” tanpa menengok relasi sejarah yang membentuknya.

* * *

Related posts

Konsep Inkarnasi & Mitologi Ibu Bumi dalam Film Avatar James Cameron

Konsep Estetik dalam Kolase Gerak Yel Putu Wijaya

Kades Bagja

1 komentar

Nurlaela AK. Lamasitudju 17 Januari 2013 - 20:05
Butuh semakin banyak orang yang berpikiran netral seperti ini, untuk melihat persoalan masa lalu bangsa sebagai pendidikan sejarah, yang selalu bisa menghadirkan nilai positif untuk dimaknai, hingga sejarah yang sama yang pernah melahirkan kekerasan tidak akan kembali terulang.
Add Comment