Beranda » Seni & Budaya » Teater » Seputar Gagasan Figur Dramaturg

Seputar Gagasan Figur Dramaturg

Oleh Moh. Syafari Firdaus
0 komentar 619 dilihat 8 menit membaca
figur dramaturg

Menanggapi gagasan perlunya figur dramaturg dalam kerja teater kita sebagaimana yang tertuang dalam tulisan Fathul A Husein, Dramaturg versus Figur-Sentral Sutradara (PR, 27/12/99), ada sejumlah hal yang kiranya menarik untuk dibincangkan lebih lanjut. Paling tidak, yang tampaknya masih perlu dikedepankan adalah perihal konkretisasi atau penegasan akan peran dan posisi dramaturg itu sendiri, terutama dalam kaitannnya dengan kelaziman pola produksi (pementasan) yang umumnya dianut oleh sejumlah kelompok teater kita.

Gagasan ihwal keberadaan figur dramaturg yang awalnya dilontarkan Saini KM ini kiranya memang bukan merupakan suatu hal yang berlebihan. Di tingkat konseptual, jika menyimak paparan yang dikedepankan Fathul dalam tulisannya itu, keberadaan dramaturg tampak menempati posisi dan peran penting di dalam sebuah lingkup proses kerja kreatif berteater. Kalaupun boleh disejajarkan, seorang dramaturg mungkin setaraf sebagaimana halnya seorang editor (dalam sastra) ataupun kurator (dalam seni rupa). Ia adalah orang yang sekaligus berada di antara relasi teks/naskah, awak pentas, pementasan, serta publik teaternya. Pada konteks inilah ia hadir, dengan segala kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya, untuk memberi sejumlah ruang kemungkinan bagi penjelajahan kreatif dan pengayaan wacana.

Pada tataran ideal, kita mungkin bisa sepakat dengan apa yang diutarakan bahwa seorang dramaturg harus bisa menjadi nara sumber. Pada posisinya ini, ia tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu membongkar muatan-muatan yang tersimpan di tingkat tekstual, namun ia pun harus memahami elemen-elemen yang dibutuhkan dalam realisasinya dengan pemanggungan. Lebih dari itu, ia pun mengemban tugas untuk memberikan wacana penjembatan yang bisa membimbing dan mengarahkan agar pementasan teater itu bisa dimengerti oleh publiknya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bukankah hal-hal seperti itu masih sangat mungkin untuk ditanggulangi oleh seorang sutradara? Dalam kaitannya dengan teks, bukankah seorang sutradara pun dituntut membongkar untuk bisa memahami teks yang akan digarapnya? Sementara dalam realisasinya dengan transformasi teks ke atas pentas, bukankah akan sangat mungkin pula jika seorang sutradara, dengan orientasi dan pemahaman tekstualnya itu, telah menyimpan sejumlah gagasan tertentu, baik dalam konteks pembayangan visual (pengadegan dan artistik) maupun konsep pemanggungannya, yang ingin diartikulasikan di dalam garapannya? Dan jika saja tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab seorang dramaturg itu sudah bisa dipenuhi secara langsung oleh sutradara, bilakah posisi dramaturg masih tetap diperlukan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya menjadi penting untuk dikedepankan agar bisa mengklarifikasi sampai sejauh mana seorang dramaturg menempati peran dan posisinya, dan agar keberadaannya itu tidak terkesan tumpah tindih dengan sutradara. Terlebih jika hal ini pun kemudian dikaitkan dengan kultur dalam pola kerja kreatif berteater kita yang, sebagaimana telah dipaparkan Fathul, umumnya masih memusat pada figur sutaradara. Dengan kata lain, dalam hal ini kita tampaknya harus bisa mengurut jejak terlebih dulu ihwal fungsi dan tugas dari masing-masing komponen pendukung sebuah pementasan.

**

Jika kita meyakini bahwa sebuah pementasan (teater) akan membawa suatu gagasan, maka yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, siapa yang sebenarnya berwenang menggagasnya? Bilamana gagasan ini bisa mengada? Dari buah pikir dramaturg atau hasil rancangan seorang sutradara? Atau, ia merupakan perwujudan dari seluruh perpaduan komponen pendukung pementasan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya akan terlalu takabur kalaupun harus disebut, gagasan yang muncul di dalam sebuah pementasan hanya lahir dari buah pikir seorang dramaturg. Akan nyaris sama takaburnya jika jawabannya itu adalah hasil rancangan sutradara semata. Jika ini memang yang terjadi, maka hal itu menandakan bahwa telah ada penafikan terhadap keberadaan komponen dan elemen lain yang turut tersimpan di dalam sebuah pementasan. Mungkin betul, dengan keberadaannya sebagai penjembatan antara sebuah karya teater dengan penontonnya, seorang dramaturg berkepentingan untuk berusaha untuk menawarkan suatu gagasan. Begitu pula halnya dengan seorang sutradara. Dalam posisinya ini, adalah suatu hal yang wajar jika sutradara adalah seorang penggagas, yang memegang peranan dan otoritas yang cukup dominan di dalam proses kerja kreatif berteater. (Tentu saja dengan catatan, sejauh otoritas dan dominasinya itu tidak sampai menginferioritaskan komponen pendukung yang lain. Lagi pula, seorang sutradara adalah seseorang yang dituntut untuk memahami kondisi dan seluk-beluk awak pentasnya.) Bukannya tidak mungkin pula, ia adalah orang pertama yang melontarkan gagasan awal, bahkan telah memiliki konsepsi tertentu untuk menggarap suatu teks/naskah untuk diangkat menjadi realitas pentas. Pada konteks ini, adalah memang sudah semestinya seorang sutradara menyimpan sejumlah gagasan (semacam misi, visi, dan konsepsi) yang hendak diaktualisasikan di dalam garapannya. Namun, itu semua tampaknya tidak lantas harus dipandang sebagai gagasan permanen yang kemudian bisa mengenyampingkan adanya gagasan-gagasan lain yang mungkin muncul selama berlangsungnya sebuah proses.

Bagaimanapun, teater lahir dari perpaduan berbagai komponen dan elemen. Keberadaan naskah (kalaupun pementasan itu bernaskah), aktor, artistik, musik, ataupun lampu yang kemudian muncul di atas panggung, misalnya, baik itu mewakili dirinya sendiri atau dipandang sebagai sebuah kesatuan, tampaknya harus diyakini membawa sebentuk gagasan pula. Keberadaan mereka tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja karena tak lain adalah serpihan-serpihan gagasan yang pada akhirnya turut membangun utuhnya gagasan sebuah pementasan. Seorang aktor, misalnya, ia tidak hanya ada untuk sekadar memindahkan gagasan (yang dikehendaki) sang sutradara. Namun lebih dari itu, dengan pemahaman dan potensi yang dimikinya, ia pun semestinya berusaha pula untuk bisa menciptakan gagasan, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk pementasan secara keseluruhan, yang kemudian harus mampu ia wujudkan pula di dalam realitas pentasnya. Begitu pun halnya dengan segenap komponen pendukung lainnya: penata artistik, penata musik, penata lampu, dls., mereka pun selayaknya bergerak dengan proses serupa. Tentu saja, karena mereka bukan sekadar “kelas pekerja” yang hanya tunggu perintah dan tunduk pada kemauan tuannya.

Dengan kata lain, setiap komponen pendukung pementasan pada titik ini sebenarnya tetap diberhakkan atas persepsinya masing-masing untuk memandang realitas pentas yang akan dihadapinya. Namun demikian, persepsi ini tentu saja tetap bersandar pada misi, visi, dan konsepsi garapannya. Pada konteks inilah yang sering jadi soal, terutama dalam relevansinya dengan penafsiran terhadap teks/naskah yang akan dibawakan. Dengan adanya figur dramaturg, hal ini tampaknya memang akan bisa relatif teratasi, meski itu tidak lantas berarti persoalan telah bisa dipandang selesai. Meskipun seorang dramaturg berada dalam kapasitasnya sebagai narasumber, namun apa yang ditawarkannya pada kreator kiranya harus tetap dipandang bukan sebagai penafsiran satu-satunya yang tak terbantahkan. Hal ini boleh menjadi mungkin karena kodrat teks itu sendiri menyediakan dirinya untuk ditafsirkan dengan sejumlah pendekatan (bahkan dengan penggunaan sebuah pendekatan pun, suatu teks masih akan sangat mungkin menghasilkan penafsiran yang beragam). Pada titik ini, yang mungkin akan menjadi persoalan kemudian adalah munculnya perbedaan penafsiran, baik dari sutradara maupun dari para pendukung pementasan lainnya, yang darinya akan mengedepankan sejumlah gagasan pula. Bahkan, teramat mungkin akan terjadi benturan kontras di antara penafsiran-penafsiran tersebut. Tentu, kiranya bukan suatu hal yang tabu jika terjadi perbenturan penafsiran semacam itu. Sementara itu, adalah suatu hal yang boleh dipandang wajar juga jika terjadi pergeseran gagasan di dalam proses garapan menuju pementasan. Justru di sinilah letaknya kreativitas itu: selalu ada pengayaan wacana.

Dalam relevansinya dengan perbincangan kita, dalam konteks ini pula posisi dan peran dramaturg menjadi penting adanya. Selain bergelut dengan tugas-tugas sebagaimana yang telah disebutkan di muka, seorang dramaturg pun tampaknya harus bisa memanage setiap gagasan yang muncul ke permukaan selama berlangsungnya proses garapan, untuk seterusnya meramu dan mengerucutkan gagasan-gagasan yang berserakan itu. Dengan demikian, gagasan yang kemudian terusung dalam sebuah pementasan pada akhirnya tidak lahir dari hasil dominasi hirarkis, tapi muncul dari “dialektika kreatif”.

Membangun dan menumbuhkan dialektika kreatif inilah yang kiranya justru lebih penting dalam pro-ses kerja berteater yang di dalamnya melibatkan sejumlah elemen kesenian. Tanpa hadirnya dialektika kreatif semacam ini, adanya figur dramaturg pun boleh jadi tidak akan terlalu banyak membantu, bahkan malah mungkin akan menimbulkan kultus pemujaan dan rezim baru yang jauh lebih otoriter dan sentralisir dari sutradara. Sementara kalaupun harus berhitung masalah peran dan posisi di dalam kerja kreatif berteater (sutradara, dramaturg, aktor, penata artistik, penata musik, atau komponen pendukung lainnya), kita mungkin boleh bersepakat, sebenarnya harus dipandang dalam kerangka yang egaliter, dalam arti kata, tidak ada satu posisi yang lebih penting dari yang lain. Di sini, semuanya berhak untuk mengartikulasikan diri dengan kapasitas dan kompetensinya masing-masing. Tidak lain, karena berteater adalah suatu proses mencipta, bukan sekadar meniru atau cuma manut pada segerombolan kata-kata.

²²²

Mungkin Anda akan Tertarik

Tinggalkan komentar

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00