Tokoh :
- seseorang bernama Brahma atau bisa siapa saja
- seseorang bernama Syiwa atau bisa siapa saja
- seseorang bernama Wisnu atau bisa siapa saja
- seorang pelayan bernama Bilqis atau bisa siapa saja
ll
Sebuah meja makan lengkap dengan segala hidangannya yang siap santap. Ada tiga buah kursi yang melengkapi meja makan itu. Masing-masing milik Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Di antara mereka tersimpan pula sejumlah benda atau apapun namanya, yang dipandang memiliki nilai tertentu bagi ketiga tokoh itu, yang sekaligus juga menjadi penanda bagi kondisi psiko-emosi dan karakter dari masing-masing peran yang dimainkan.
ll
Semua adegan yang berlangsung dalam lakon ini berawal dari meja makan, dan―entah apakah adegan demi adegan atau peristiwa demi peristiwa yang kemudian berlangsung itu berkorelasi dengan meja makan atau tidak―akan selalu ditarik untuk kembali ke meja makan.
ll
Adegan diawali dengan nyala lilin. Brahma, Wisnu, dan Syiwa berada dalam posisi menghadapi meja makan. Wisnu dan Syiwa tengah menikmati santapan pembukanya. Wisnu tampak menunjukkan cara makan yang begitu hati-hati, selalu ingin terlihat bersih. Di setiap kali habis menyuap, ia selalu akan menarik secarik tisue, mengelap mulutnya, untuk seterusnya membuang tisue itu ke tempat sampah yang tak jauh dari kursinya. Begitu seterusnya. Berbeda halnya dengan Syiwa yang justru tak acuh saja. Di sela menyantap hidangannya, ia hanya bersibuk sendiri menggeluti alat-alat pertukangannya: sesekali bahkan ia mengasah pisau makan miliknya, juga garpu, atau mengampelas sendok-sendok makannya itu. Sedangkan Brahma ―meski ia pun seolah-olah tengah menyantap hidangannya, dengan perlengkapan makan di tangan dan lap di pangkuan―berada dalam posisi diam di kursi meja makan itu. Brahma sama sekali tidak bergerak: mungkin ia sedang mati.
Waktu lewat.
Muncul Bilqis. Ia datang membereskan hidangan pembuka, untuk kemudian menyajikan menu utama. Ia pun kembali menata meja makan itu: menuangkan minuman, mengganti perlengkapan makan Brahma: menyelipkan pisau dan garpu ke tangannya, dsb..
Wisnu Nah, apa menu kita malam ini, Bilqis?
Bilqis (Tidak terlalu peduli) Kelihatannya, steak.
Wisnu Steak?
Bilqis Steak bumbu ceri dengan jamur kuping rebus.
Syiwa (Mengambil seiris steak yang disodorkan Bilqis) Tapi pisaunya mungkin kurang tajam. Irisannya tidak estetis. (Ia lalu menyimpan potongan steak yang diangkatnya itu ke piring Brahma) Makanlah. Semoga berbahagia.
Begitu selesai menata meja Bilqis langsung keluar. Wisnu dan Syiwa mulai dengan santapan utamanya.
Waktu lewat.
Wisnu Tampaknya kau sedang berbahagia, Syiwa?
Syiwa (Mengangkat gelas) Untuk kematian Brahma!
Wisnu Untuk Brahma!
Waktu lewat.
Wisnu Bagaimana piknikmu, Syiwa?
Syiwa Sayang, gergajiku tak terbawa. Seharusnya kau pun tanya Brahma.
Wisnu Paling-paling buku. Tapi― huh!, piknikku sendiri hanya dipenuhi sampah dan debu.
Syiwa (Tertawa) Maka jadilah sampah dan debu. Biarkan sekali-kali mereka mencintaimu.
Waktu lewat.
Dering telepon, beberapa kali. Tak berapa lama kemudian Bilqis muncul.
Bilqis Untuk Tuan Brahma.
Syiwa Giliranmu. Ambillah.
Wisnu Ah, katakan saja Tuan Brahma sedang mati. Tidak bisa diganggu. Catat saja kalau ada pesan.
Bilqis keluar, sebelum kemudian kembali lagi dengan secarik kertas yang disodorkan kepada Brahma. Wisnu segera mengambilnya.
Wisnu Dari Anubis (kepada Brahma). Dia sangat berharap, kau akan bisa kembali seperti sedia kala. Lain kali, katanya ajak-ajak dia kalau mau mati. Jangan egois.
Syiwa (Mengangkat gelas seraya tertawa) Bagi Saudaraku Brahma yang tercinta!
Wisnu (Enggan) Yang tercinta—
Waktu lewat.
(Wisnu tampak cemas ketika menetes setitik noda di bajunya. Dengan segala cara ia berusaha membersihkannya. Sementara Syiwa kembali mengasah pisau makannya. Setelah selesai, ia pun lantas mengasahkan pisau makan Brahma).
Syiwa Jangan sampai tidak estetis lagi irisannya. (Kepada Wisnu) Pisaumu perlu kuasahkan juga? Garpunya barangkali?
Wisnu Brahma punya kesopanan paling mengagumkan di meja makan!
Syiwa Kesopanan? Apa kau sendiri pernah mengampelasnya?
Bilqis muncul. Ia menuang kembali minuman pada gelas mereka.
Bilqis Seharusnya Tuan Brahma tidak terlalu lama mati.
Wisnu Dan seharusnya kau berpakaian lebih tebal, Bilqis.
Bilqis keluar. Syiwa lekat memperhatikannya.
Syiwa Giliran siapa?
Wisnu Seharusnya, Brahma. Tapi―
Syiwa Ya― ya― (Lalu gelak tertawa)
Wisnu Sungguh?
Syiwa Seperti katamu, aku sedang berbahagia.
Wisnu Tapi sepertinya kebahagiaanmu sangat lain. Apa sebenarnya kau takut mati, Syiwa?
Syiwa Mati adalah manusiawi. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kelahiran justru lebih mengerikan.
Wisnu Kata-kata Brahma. Kau selalu berdiri di belakang Brahma!
Syiwa Lalu apakah aku harus mengutipkan kata-katamu: ‘kebersihan adalah pangkal kesucian!’ Cuah!
Wisnu Ah! Ruangan ini memang perlu bedak, parfum, pewangi!
Syiwa Justru perlu jendela baru! Besok akan kubuatkan di sini! Di sini! Juga meja makan ini!
Waktu lewat.
Bilqis muncul. Membereskan meja makan.
Wisnu Puding, Bilqis?
Syiwa Naga-naganya, koktail.
Wisnu Tapi lebih kontekstual puding.
Syiwa Tapi dari cara-cara Bilqis membereskan piring, jelas koktail.
Wisnu Dari aromanya aku mencium puding.
Syiwa Penciuman macam apa itu? Justru bau koktail dalam hidungku.
Wisnu Apa yang bisa diharapkan dari hidung seseorang yang selalu bergaul dengan sampah dan debu?
Syiwa Hey, tidakkah kau ingat betapa Brahma selalu menghargaiku sebagai seorang tukang?
Bilqis (Sambil berlalu) Seandainya Tuan Brahma tidak terlalu lama mati…
Syiwa Seandainya Brahma bisa bicara, dia pasti akan memilih koktail untuk kita.
Wisnu Jangan ganggu Brahma. Dia sedang mati. Kita harus menghargai upayanya untuk menuju hidup yang sempurna.
Syiwa Maka jangan sia-siakan kematiannya. Penghargaan kita adalah koktail.
Wisnu Kau selalu berlindung di ketiak Brahma! Pudingnya, Bilqis!
Syiwa Cemburu tanda tak mampu. Sajikan koktailnya, Bilqis!
Wisnu Mana pudingnya, Bilqis!
Syiwa Kau tahu Brahma akan memilih koktail, Bilqis!
Wisnu Kau tahu puding itu apa? Puding adalah campuran yang begitu sempurna antara susu—
Syiwa Lantas kau anggap apa koktail?
Wisnu Apa itu koktail?
Syiwa Jangan kau hinakan pilihan Brahma!
Wisnu (Tertawa) Justru sebaliknya. (Berjalan ke arah buku-buku) Nah, dalam kitabnya ini Brahma justru menulis bahwa pada malam-malam yang penuh dengan cuaca seperti ini kita harus memilih makanan penutup P-U-D-I-N-G: puding! Nah, lihat! (Mendekati Syiwa seraya menyodorkan buku yang dibawanya, sebelum kemudian menutup buku itu dengan segera)
Syiwa (Penasaran) Apa benar, Wisnu? Kau baca halaman berapa? Pada bab mana?
Wisnu Carilah! Pokoknya tadi tertulis puding. Titik.
Syiwa (Setelah sekian lama mencari) Ah, pokoknya koktail. Sekali koktail tetap koktail.
Wisnu Puding!
Syiwa Koktail!
Wisnu Puding!
Syiwa Koktail!
Perdebatan semakin sengit.
Lampu, fade out.
ll
Panggung temaram. Masih di meja makan yang sama. Wisnu kini posisinya sama dengan Brahma, diam tak bergerak di kursi meja makan itu. Mungkin mereka sedang mati. Syiwa tampak berada di antara benda-benda pertukangan miliknya.
Waktu lewat.
Bilqis muncul, mulai menata meja untuk acara makan Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Begitu selesai, ia langsung keluar.
Waktu lewat.
Syiwa mulai menyantap hidangan pembuka.
Waktu lewat.
Syiwa Bagaimana piknikmu, Wisnu? Apa kau masih digauli sampah dan debu? Ya, Brahma, pasti dengan buku. Selalu. Sedang piknikku sendiri, sayang, kapakku tak terbawa.
Waktu lewat.
Bilqis muncul. Menuang minuman.
Syiwa Tolong sajikan puding untuk makanan penutupnya, Bilqis.
Tanpa komentar, Bilqis keluar.
Lampu, fade out. Hanya tinggal nyala lilin itu saja.
lll
· bandung, pajajaran, 19 Agustus 1999
·) Naskah lakon ini ditulis untuk keperluan pementasan Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Unpad pada Selekda Peksiminas IV Jawa Barat, 9 September 1999 di Gedung Dewi Asri STSI Bandung. Disunting oleh Moh. Syafari Firdaus (sutradara) dari ide-ide yang muncul selama proses latihan dan sejumlah diskusi dengan Ramdhan Taufik (penata peran), Mujib Prayitno (scripter), Fajar Syudrajat (Wisnu), Budi Hananto (Syiwa), Dody Yuniar (Brahma), Hana Solonia (Bilqis), dan sejumlah kawan GSSTF lainnya yang terlibat dalam rencana pementasan.
Cacatan untuk Pementasan Meja Makan Kita
Dari Nonsensitas dan Kekenesan Sebuah Proses
Jika kita percaya bahwa di dalam setiap pementasan (teater) akan tersimpan suatu sense, maka sense dalam pementasan ini barangkali adalah nonsense. Di sini hanya terjadi suatu peristiwa yang kebetulan harus menjadi ada, meskipun sebenarnya boleh jadi tidak perlu ada. Bukannya tidak mungkin pula jika pementasan ini kemudian disikapi hanya sebagai kekenesan. Namun, kekenesan itu pun merupakan suatu peristiwa yang berhak untuk mengartikulasikan dirinya. Paling tidak, agar ia bisa menjadi ada, dikenali, dan, lebih dari itu, tampak berharga (sekalipun harganya itu mungkin tak berharga).
Demikianlah, Meja Makan Kita yang seterusnya harus terjadi ini, pada akhirnya bergerak dari suatu pikiran untuk mencoba mencari sejumlah kemungkinan di belakang pretensi nonsensitas dan kekenesan yang muncul dalam proses (latihan) berteater. Saya sendiri tidak terlalu yakin, apakah ini merupakan bahasa yang tepat untuk mengucapkan pilihan yang sebenarnya kami inginkan. Yang jelas, pada awalnya kami hanya berangkat dari seperangkat meja makan, empat orang aktor yang dibebani untuk mencari biografi tokoh dan perannya sendiri (bahkan mungkin yang diperankannya itu adalah dirinya sendiri), dan sejumlah benda yang mungkin bisa diajak untuk turut bermain bersamanya. Selebihnya, kami hanya berusaha untuk terus saling menyikapi, baik di tingkat kognitif maupun pemanggungan, untuk membuka dan menemukan ruang permainan dalam proses menuju realitas pentas sebagaimana yang kali ini kami bawakan.
Proses semacam ini memang boleh jadi merupakan format yang sudah sangat biasa. Namun, secara naif, ada semacam harapan bahwa kami tidak ingin sekadar mengadopsi begitu saja sebuah format proses kreatif yang sudah terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah kelompok teater lain. Terlebih jika kami kemudian sampai bergerak untuk turut berbondong-bondong pula terbawa arus mainstream atau trend berteater yang belakangan dikiblati. Bukannya kami tidak ingin untuk bergerak ke arah itu. Hanya saja, dengan adanya sejumlah pilihan dan juga keterbatasan, kami dipaksa untuk secermat mungkin memilih dengan sepenuhnya menyadari bahwa ada sejumlah persoalan di tingkat elementer berteater yang terlebih dahulu harus kami selesaikan.
Maka dari itu, pilihan Meja Makan Kita ini pada tahap tertentu hanya berusaha untuk membongkar dasar lakuan dari cara berteater konvensional. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan biografi peran yang seterusnya mendasari karakteristik para tokoh dan sejumlah sarana keaktoran lainnya, pada konteks ini tetap dipertahankan sebagai dasar pemeranan. Barangkali yang sedikit membedakan, dalam pemanggungannya kami berusaha untuk menghadirkan wilayah lain, yang boleh jadi, terutama di wilayah (aksentuasi) artistik, “tidak konvensional”. Selain itu, kami tidak memulainya dari panduan suatu naskah. Naskah baru muncul kemudian, disunting secara bertahap, ketika kami merasa perlu untuk mengingat kembali potongan konflik dan artikulasi verbal macam apa saja yang telah ditemukan. Sementara verbalisasi dari produk bahasanya pun, pilihannya jatuh untuk memangkasnya sampai pada batas yang kami anggap “efektif”, tanpa meniadakan “ketertibannya”.
Di tingkat literer ini, persoalan macam apa yang sesungguhnya harus terjadi di meja makan itu bukanlah merupakan persoalan yang kami anggap terlalu signifikan. Setiap upaya pemaknaan, disimpan (hanya) untuk jadi “milik pribadi”. Demikian pula dengan tendensi dan muatan tematisnya. Dalam aktualisasinya, pada tahap ini pun diserahkan sepenuhnya pada interaksi dan penyikapan yang muncul dari pemeranan para aktor dalam realitas pentas yang kemudian mesti dihadapinya. Tidak mengapa kalaupun peristiwa dan komunikasi yang dibangunnya menjadi sangat fragmentaris, mengalami diskontinyuitas, monoton, tidak mengusung apa-apa, dan jauh dari konteks referensialnya. Persoalannya hanya tinggal, apakah kami bisa mengemas semua itu agar bisa tetap ternikmati? Akan tetapi, boleh jadi apa yang ingin kami ucapkan itu di dalam realitas pentasnya mengalami sejumlah ketersendatan dan masih merupakan gerak yang serba tanggung. Hal itu memang sangat kami sadari. Hanya saja, lagi-lagi secara naif, mudah-mudahan ada gagasan kami yang tersisa di sana, dan masih bisa terbaca jejak kehadirannya.
· Moh. Syafari Firdaus, Sutradara