Beranda » Seni & Budaya » Sastra » Relasi Komunikasi dan Kualitas Karya Seni

Relasi Komunikasi dan Kualitas Karya Seni

Oleh Moh. Syafari Firdaus
0 komentar 417 dilihat 8 menit membaca
karya seni

Adalah sungguh beralasan jika ada yang berpandangan, keberadaan karya seni harus juga diperhitungkan dalam relevansinya dengan jaringan eksternal, “struktur” yang berdiri di luar karya seni itu sendiri. Karya seni adalah semacam “tindak bahasa” yang muncul dari sutau kultur tententu sebagai upaya untuk menyikapi realitas yang terbentang di hadapannya.

Pada titik ini, karya seni tidak lain adalah tindak pengucapan (semacam parole) dari seorang individu yang mencoba untuk membangun komunikasi yang khas lewat representasi model tanda (semiotis). Representasi model tanda tersebut, baik secara langsung atau tidak, akan merujuk dan menunjuk pada realitas, universe. Ini yang kemudian mendasari, karya seni menjadi sangat mungkin untuk berhadapan dengan konteks eksternalnya—jaringan total fenomena sosial. Sebab, karya seni, sebagaimana halnya parole, pada akhirnya akan menjadi “fakta sosial” yang seterusnya akan berinteraksi dengan langue dalam lingkup yang lebih luas, dan turut ambil bagian dalam proses perkembangan dinamika (struktur) sosial-masyarakatnya.

Dengan demikian adalah menjadi suatu hal yang sangat wajar pula jika hasil suatu karya seni kemudian ditengok dan didekati dalam keterlibatannya dengan totalitas fenomena sosial yang ada. Meskipun hal ini bukanlah suatu keharusan yang absolut, secara sederhana, kontekstualisasi masalah ini paling-tidak akan berhubungan dengan cara pandang kita, terutama jika kita tertarik untuk mencermati bagaimana elemen-elemen struktur sosial itu ditransformasikan menjadi sederet tanda semiotis di dalam karya seni, berkaitan dengan proses (re)produksi makna dalam menjelajahi wilayah gagasannya. Pada gilirannya, letak titik singgung dan korelasi dalam pola komunikasi antara parole si kreator yang teraktualisasikan sebagai langue yang diterima si penikmat seni, dengan cara pandang seperti ini akan bisa lebih teridentifikasi pula keberadaannya.

Hanya rumitnya, memang dalam proses ini akan sangat mungkin muncul hirarki dari suatu struktur sosial tertentu yang berpotensi untuk mendominasi, baik yang menyertai kehadiran parole itu sendiri maupun ketika dalam proses resepsi dan interpretasi yang menguasai wilayah langue-nya. Dalam kondisi demikian, komunikasi yang kemudian terbangun memang akan sangat mungkin pula menemui ketersendatan atau keterpatahan, kalaupun tidak mengalami “kegagalan”.

Akan tetapi, dalam konteks komunikasi karya seni kondisi seperti itu tidaklah bisa dipandang sebagai suatu “cacat komunikasi”. Sebab, adalah sudah menjadi konsekuensi logis bagi setiap “tindak bahasa” yang menggunakan sistem tanda semiotis (yang sekunder, bahkan tertier) untuk diresepsi dan diinterpretasi di luar sebagaimana yang diharapkan: suatu kodrat alami yang kehadirannya tidak akan bisa untuk ditiadakan. Di sisi ini, keberadaan suatu sistem tanda sekunder pada dasarnya memang akan selalu membuka peluang untuk diterjemahkan dengan sederet variabel tertentu yang nisbi dan berubah secara terus-menerus, yang tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh pada jalannya komunikasi tersebut.

Variabel-variabel ini, secara spesifik, boleh jadi tidak akan teridentifikasi dengan tegas; sederhananya, selain kaitannya dengan persoalan ruang dan waktu, setiap pelaku yang mengadakan tindak komunikasi itu pun tidak terlepas dan akan selalu membawa konteks historisnya masing-masing. Tentu saja, ini menjadi lebih rumit dan kompleks tinimbang tindak komunikasi yang memakai sistem tanda bahasa primer (semantis), terlebih dalam konteks tindak komunikasi verbal yang akan memungkinkan untuk (hanya) dilihat dari aspek pragmatisnya; sementara, fungsi patik dan suprasegmental yang dimunculkan oleh para pelakunya pada saat itu juga, akan dapat diidentifikasi sebagai referens untuk kemudian ditarik menjadi bagian dari proses resepsi, interpretasi, dan pemahaman.

Interaksi dan dialog yang kemudian terbangun lewat karya seni, dengan demikian, sebenarnya tidak praktis bergerak dalam tatanan, pesan dari si pemancar (kreator) mesti terpahami (secara menyeluruh) oleh penerimanya. Berkenaan dengan masalah ini, perhatian Mukarovsky yang meletakkan dasar estetika sastra dalam model semiotik yang melibatkan hubungan dinamik yang tersimpan di antara faktor pencipta, karya, pembaca, serta masyarakat (kenyataan), misalnya, tampaknya boleh menjadi bahan menarik untuk ditarik relevansinya.

Mukarovsky melihat keberadaan karya seni sebagai hasil dari “kesadaran kolektif”; merupakan fakta supra-individual yang mengadakan komunikasi, yang mesti dilihat sebagai tanda yang dititikberatkan pada sudut fungsinya. Di sisi ini, Mukarovsky mempertimbangkan keberadaan sosok individualitas (individu sebagai anggota sekaligus produk masyarakat), yang bisa dipandang sebagai pusat tempat persentuhan dengan segala pengaruh luar yang mungkin hadir mewarnai karya seni yang kemudian dihasilkan, yang berpotensi pula untuk menembus perkembangan seni itu sendiri. Dengan kata lain, ada titik-tolak dari “subjek-hostoris” yang berpeluang untuk mempertemukan aktivitas manusia sosial yang menyatakan dirinya secara total di dunia dengan berbagai cara—sebagai bentuk perwujudan dari keseluruhan respon subjektif-historis pada dunia luarnya—yang kemudian muncul sebagai faktor yang bisa menentukan sejarah.

Dalam pertaliannya dengan hal ini, Mukarovsky memandang bahwa perwujudan fungsi tanda ter-sebut—sebagai cara pernyataan manusia yang tidak langsung—adalah “simbolis” jika diarahkan pada objek, dan akan menjadi “estetis” jika ditujukan pada subjek. Dengan demikian, karya seni kemudian akan dipahami sebagai “objek estetik”, yang dalam kemampuan formalnya berfungsi sebagai benda yang bernilai estetik dalam keragaman kondisi sekitar; meskipun, secara kualitatif, di antara nilai-nilai tersebut berlainan satu sama lain. Sementara pembaca, yang mesti mencoba untuk mengkonkretisasikan objek estetik tersebut, pada titik ini akan turut terlibat dalam peranannya sebagai pusat dari peristiwa semiotik.

Kondisi demikian mungkin akan bisa mempertegas bahwa “kegagalan komunikasi” dalam suatu upaya untuk menginterpretasi karya seni pada akhirnya tidak lantas bisa mengartikan karya seni itu telah gagal pula menuju tujuannya. Terlebih jika hal itu kemudian dikaitkan untuk dipakai sebagai sandaran dalam mengukur nilai, tingkat keberhasilan, dan kualitas karya seni yang bersangkutan.

Persoalannya tentu tidak menjadi sesederhana itu. Di sisi ini, agaknya sangat perlu untuk dibeda-kan (dengan tegas) antara persoalan “kualitas” dengan “selera” penikmatnya. Bahwa, kualitas karya seni yang dinilai dari kriteria: konsep, performen (bentuk), dan keterlibatan langsung dari massa pengusungnya, memang bisa diterima. Hanya persoalan yang patut dipertanyakan kemudian adalah sejauh mana kriteria tersebut bisa berjalan tanpa mengabaikan aspek karya seni itu sendiri (sebagai kreasi estetik seorang individu) yang membawa aspek historis di belakangnya, pun demikian pula halnya dengan plu-ralitas massa yang menyimpan keragaman?

Kalaupun kemudian, karya seni, yang mengedepankan sederet simbol implisit untuk ditawarkan kepada para penikmatnya, mesti dikemas semenarik mungkin, dalam arti bisa komunikatif bagi masyarakatnya, hal ini justru mengesankan jika karya seni hanya akan menjadi berkualitas ketika ia bisa sejalan dengan selera penikmatnya: boleh jadi pula akan mengandung pengertian, kualitas akan berada di bawah bayang-bayang selera, bahkan sama sekali harus tunduk di bawah selera! Tentu, akan terdengar rancu jika demikian halnya. Sebab, dengan begitu karya seni itu sendiri pada akhirnya praktis akan kehilangan posisinya sebagai sebuah deskripsi yang memberikan peluang keragaman tawaran, individu, serta nilai estetiknya.

Sementara jika perbincangan mengenai kualitas harus ditinjau dari aspek komunikatif atau tidaknya, persoalannya akan kembali pada esensi dasar karya seni itu sendiri, sebagai tindak bahasa yang memakai sistem tanda semiotis. Rumit atau tidaknya sistem tanda yang ditawarkannya itu, bukan men-jadi indikasi dasar pula untuk mengukur kualitasnya. Di sinilah letak relevansi fungsi estetik yang hadir dalam diri penikmat seni sebagaimana yang digagaskan Mukarovsky itu; ada relasi timbal balik yang memungkinkan interaksi dan dialog itu bisa terjadi. Fungsi tanda “simbolis” yang dituangkan oleh si subjek-historis pada karya yang dihasilkannya, secara “estetis” akan dikonkretisasikan oleh si penikmat yang juga membawa aspek historisnya.

Pada titik inilah kualitas itu akan diuji, terlepas apakah sederet tanda itu bisa dipahami atau tidak bisa dipahami, sebab kualitas itu sendiri tidak harus selalu bersandar pada kepahaman ataupun ketidakpahaman akan suatu pesan. Bahwa, kualitas yang tersimpan dalam karya seni akan muncul bersamaan dengan adanya aktivitas dari penikmatnya untuk turut berpartisipasi lewat kapasitasnya yang berdiri sebagai pusat dari peristiwa semiotik itu.

Puisi-puisi Sutardji (pada periode mantra) atau Afrizal Malna, misalnya, banyak yang kemudian menilainya punya kualitas kendatipun boleh jadi para penanggapnya itu sama sekali kegelapan dan tidak memahami konteks pesan yang dibawanya. Begitu pun hal seperti ini mungkin akan terjadi pula ketika berhadapan dengan cerpen-cerpen Danarto, pementasan teaternya Putu Wijaya, atau film-filmnya Garin Nugroho. Pada konteks ini pun, kualitas yang muncul pada karya-karya yang kerap diberi label “rumit” atau bahkan “gelap” semacam itu, boleh jadi sebenarnya bermuara dari struktur artistiknya, yang mungkin bisa ditemukan kemudian lewat “perjalanan estetis” yang dialami oleh penikmatnya.

Di sisi ini, meskipun tidak ada realitas yang benar-benar objektif di belakang karya seni, namun persoalan yang menyangkut kualitas tidak lantas bisa dinilai secara a priori, bertolak dari kepahaman atau ketidakpahaman, ataupun bertumpu pada parameter nilai selera: suka atau tidak suka. Terlebih lagi jika persoalan kualitas ini kemudian hanya didasarkan pada per-harga nominal ataupun hitungan jumlah orang yang berkenan untuk menikmatinya.

²²²

Mungkin Anda akan Tertarik

Tinggalkan komentar

-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00